[3] [4] The Pretension


The Pretension_1

Memperhatikan perkembangan terakhir, maaf, aku secara sepihak mengganti cast. Tadinya, aku mengggunakan Jessica sebagai Sooyeon. Untuk bagian ini dan seterusnya, aku menggunakan Hwang Miyoung sebagai pengganti. Once more, I’m sorry.

The [P]retension

Arsvio | Choi Siwon as Andrew, Nam Ryung, Cho Kyuhyun, Hwang Miyoung, and Abigail Choi | PG 16 | Themesong: Monster by Imagine Dragons

 

Bagian [3]

Ryung bosan. Setelah paling tidak 30 menit dia menunggu di ruangan Seunghyun, pria itu tak kunjung muncul. Salah dia juga yang datang tanpa memberi tahu, akibatnya ketika dia tiba di ruangan Seunghyun, seorang sekretaris menyampaikan kalau bosnya sedang rapat penting. Masih untung Ryung diperkenankan menunggu di ruangan Seunghyun, yang jauh lebih nyaman dibanding ruang tunggu. Ah, mungkin karena mengimajinasikan Seunghyun bekerja seharian di ruangan ini membuatnya tidak asing.

Beberapa kali Ryung berkunjung ke sini, namun dia belum pernah mencermati detailnya. Jadi dia berdiri, memulai inspeksi-nya dari almari kaca. Penghargaan, piala, kenang-kenangan, dan semacamnya berjajar rapi memenuhi empat tingkat almari pertama. “Oh,” pekik lirihnya ketika ponsel di tangannya yang bergetar mengagetkannya.

“Halo,” sapa Ryung dengan sopan walaupun tidak menyimpan nomor penelpon.

“Nona Nam Ryung?”

“Ya, dengan siapa saya bicara?”

“Choi Yoonra.”

Ryung berpikir dan mengingat karena nama itu tidak asing, walau dia yakin nama itu bukan merupakan salah satu pasiennya. “Jadi Ny. Choi, ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mendapatkan referensi dari pengajar Sunshine mengenai Anda.”

“Ah, ya,” sahut Ryung mengerti. Klinik konsultasinya memang bekerja sama dengan Sunshine—sekolah taman kanak-kanak dan pra-sekolah.

“Saya seorang wali dari seorang siswa Sunshine yang…sedikit bermasalah,” ucap getir Yoonra di seberang jaringan.

“Saya rasa bermasalah bukan kata yang tepat, Ny. Choi,” senyum Ryung yang mengerti, “saya lebih menyukai untuk menyebutnya berbeda dengan yang lain—tentu dalam hal ini tidak selalu buruk.”

“Demikian sepertinya lebih baik, Nona Nam.”

Ryung masih berdiri di depan almari kaca dan matanya masih memerhatikan beberapa barang di sana. Telunjuknya mengacung ke depan kaca, menggaris horizontal seolah dia bisa menyentuh sebuah plakat yang mencetak nama Seunghyun.

“Saya ingin membawa cucu saya menemui Anda di klinik, namun situasi kami tidak memungkinkan.”

Mendengar demikian, Ryung lagi-lagi tersenyum mengerti. Sunshine adalah sekolah elit; dia paham jika orang tua siswa di sana menginginkan privasi mengingat kedudukan sosial mereka.

“Jika Anda tidak keberatan, bisakah saya meminta Anda yang datang ke rumah kami? Saya akan menyiapkan penjemput, jika Anda bersedia.”

Kepala Ryung meneleng, memerhatikan sebuah plakat yang terletak di belakang. Dia sedikit bergeser untuk dapat melihat sesuatu yang tertulis di plakat tersebut, karena sepertinya bukan nama kekasihnya yang tercetak di sana.

“Tentu saja, Ny. Choi. Silakan kirimkan alamat Nyonya. Untuk penjemput, saya rasa tidak perlu karena saya lebih menyukai untuk datang sendiri ke sana.”

Andrew Choi—itulah yang terbaca oleh Ryung di plakat paling belakang. Matanya menjelajah lagi, hingga tidak hanya plakat, namun beberapa penghargaan dan tanda kenangan yang berada di deret belakang, tercetak nama yang sama. Hal yang kemudian membuatnya berpikir bahwa ruangan ini adalah milik sepupu Seunghyun—yang dia belum pernah bertemu secara personal sebelumnya, yang kabarnya turun ke level bawah Shinan karena skandal.

“Saya akan kirimkan alamatnya setelah ini, Nona Nam. Apakah besok pagi Anda bisa berkunjung? Karena saya tidak memiliki waktu luang lain selain itu.”

Ryung mengingat agenda dan jadwalnya akhir pekan ini, “Tentu. Kebetulan saya luang di jam pagi.”

“Terima kasih untuk kesediaannya, Nona Nam. Sampai bertemu besok.”

“Sama-sama, Ny. Choi, dan sampai bertemu besok,” ucapnya mengakhiri percakapan.

“Andrew Choi…” lirih Ryung yang malah tertarik dengan nama itu daripada penelponnya baru saja. “Andrew Choi?” dia kemudian mengangkat ponselnya, “Choi Yoonra…” Ryung menutup mulutnya, sedikit terkejut. Mungkinkah penelponnya adalah ibu dari Andrew Choi? Janda mendiang penguasa Shinan sebelumnya, Choi Yoonra? Karena nama itu yang terlintas di benaknya sehubungan dengan Sunshine.

“Kau cantik ketika berwajah serius,” dan Ryung menghentikan tebakkannya ketika sapaan Senghyun disertai kecup ringan di pipi, menyambanginya.

“Hei,” sapa Ryung, kemudian hilang sudah rencananya datang ke kantor Seunghyun untuk menanyakan kebocoran berita pertunangan mereka saat ciuman Seunghyun menjamah bibirnya. Tentu saja dilanjutkan dengan sebuah makan siang romantis, disisipi diskusi mengenai masalah yang lebih menarik ketimbang berita itu—promosi Seunghyun.

***

Miyoung mengulum bibirnya ketika kelebat memori enam tahun lalu memenuhi pikirannya. Meja yang sama di café langganannya untuk memesan secangkir teh vanilla dan bluberry shortcakes. Seorang wanita seumurannya ber-make-up tebal, yang mengembus asap rokoknya dengan angkuh, padahal sedang mengandung. Wangi parfum menusuk serta menggairahkan yang menguar dari wanita itu.

Sekali dalam hidupku, aku ingin mengenakan apa yang kau kenakan: gaun Prada, berlian tiffany & co, sepatu Jimmy Choo, dan clutch bag Hermes.”

Tangan Miyoung terkepal. Bahkan telinganya pun masih menyimpan suara mendayu wanita itu.

“Aku seharusnya mengasihimu Nona Hwang, apakah kau tahu bahwa dia…sangat mempesona ketika mencapai puncaknya? Lenguhannya, ekspresinya,…bahkan keringat di setiap inchi kulitnya. Kutebak kau bahkan belum pernah menikmatinya.”

Tangan terkepal Miyoung bergetar, membuatnya harus mengepalkannya semakin erat. Atas kesombongan wanita itu dulu, Miyoung rasa-rasanya ingin menyiramkan tes panasnya di wajah sang wanita. Sungguh ketika itu, usianya masih di awal dua-puluhan, terlalu lugu untuk mengerti hal-hal mengenai hubungan intim antara pria dan wanita—meski, yeah, kita mempelajarinya di pelajaran biologi tentang reproduksi. To hell with it, pelajaran itu tidak menerangkan detail gelora rasanya.

“Terkadang aku mengirikanmu, Nona Hwang, yang selalu yakin dalam segala yang melekat padamu: fashion, pekerjaan, dan lelaki.”

Mata Miyoung memejam, menyalahkan perkataan wanita itu enam tahun lalu. Jika dia yakin dalam segala yang melekat padanya termasuk lelaki, maka dia tidak akan menemui sang wanita. Hatinya yang goyah, yang selalu dilemahkan ketika menatap mata elang Andrew, adalah alasan mengapa Miyoung nekat menemui wanita itu secara pribadi.

“Mungkin setelah aku melahirkan anak ini, aku tidak bangun lagi…mungkin jika kalian sedikit berbaik hati, aku akan hidup dua, tiga, atau empat tahun lagi. Sejujurnya aku tidak peduli, tapi bagaimana dengan anak ini?”

Pertanyaan yang dalam beberapa detik mengubah raut wanita itu menjadi sendu, yang hingga sekarang Miyoung pun tidak menemukan jawabannya. Hanya sepersekian menit, namun Miyoung dapat melihat bagaimana perasaan wanita itu mulai tersentuh dengan bayi di kandungan—yang demikian diluar dugaan.

“Kau yang menanam, kau juga yang mengunduh, Nona Hwang Miyoung.”

Perkataan terakhir sang wanita sebelum dia melenggang dengan angkuh, meninggalkan Miyoung dengan wajah kejur. Hingga saat ini, kalimat itu masih terulang-ulang di pikiran Miyoung, seakan mengejeknya.

“Sudah lama menunggu?”

Miyoung tersentak, kemudian mendongak dan tersenyum ketika matanya menangkap sosok Andrew. “Hanya beberapa menit lebih awal,” tangannya terurai, buru-buru memasukkan sudut kertas yang menyembul dari map di pangkuannya. Sebuah dokumen hasil autopsi, Lee Yeol adalah apa yang tertulis di baris nama.

“Aku memesankanmu black coffee[1],” Miyoung berusaha mengembalikan penguasaan dirinya setelah beberapa menit tadi sempat teraduk-aduk. Bagaimana tidak? Membaca nama wanita itu di dokumen yang dia pegang sekarang, mau tak mau membangkitkan kenangan mengenai sang wanita.

Andrew bergumam mengiyakan. Dia tidak heran bagaimana Miyoung masih menghafal detail dirinya, seperti jenis kopi yang dia suka. Dia juga tidak akan heran jika Miyoung tidak memesankan pendamping kopi yang manis, karena dia tidak menyukainya. Menurutnya rasa black coffee yang sedikit pahit tidak perlu dirusak oleh sesuatu yang manis seperti cake, meskipun terkadang Miyoung mencekokinya dengan selai blueberry dari shortcake.

“Bagaimana harimu?”

“Tidak ada yang menarik,” Andrew membuang napas, kemudian memaling ke arah jendela kaca di sisinya. Mulut tidak menyampaikan sesungguhnya, namun gurat di wajahlah yang berbicara. Tidak menarik bukan berarti dia mengalami hari membosankan karena yang terlihat adalah kelelahan di rautnya.

Miyoung berhenti di situ, tidak mengungkit. Dia mengerti posisi sulit Andrew di Shinan saat ini. Pria dengan obsesi besar seperti Andrew, turun ke jajaran bawah Shinan, selain menanggung malu, juga kehilangan pekerjaan yang memberikannya sensasi hidup.

Ikatan Andrew dengan Shinan adalah darah. Walaupun telah dihinakan di Shinan, dia tidak dapat keluar kemudian mengejar ambisinya di perusahaan lain—beberapa bahkan menawarinya posisi menjanjikan. Ayahnya merupakan putra pertama generasi kelima Shinan, andai dia tidak terkena skandal, maka tahta Shinan diestafetkan kepadanya, bukan dialihkan ke tangan pamannya.

“Tiga bulan lagi,” Andrew mengangkat pembicaraan, “Shinan akan melakukan tutup tahun.”

Miyoung menyimak, lalu memilih menyesap teh vanilla-nya daripada membuka mulut—belum saatnya. Dalam pikiran, dia membuat tebakan arah pembicaraan Andrew—posisinya di Shinan.

“Dan ini adalah tahun ke-4 aku berada di manajerial Shinan. Jika dalam tiga bulan ini, penjualan produk finansial Shinan bergerak lesu, kemungkinan tahun berikutnya aku masih berada di posisi ini.” Dorongan dari mana datangnya sampai-sampai Andrew dengan mudah mengeluhkan hal ini kepada Miyoung. Nyatanya ketika dulu mereka bersama, Andrew hampir-hampir tidak pernah merendahkan dirinya seperti ini—baginya bercerita seperti ini sama saja dengan merendah.

“Setidaknya masih ada tiga bulan untuk melakukan terobosan. Waktu yang sempit, namun kau selalu terpicu dengan tantangan seperti ini,” Miyoung tersenyum tipis, bangga dengan ucapannya ketika Andrew menjawab dengan seringaian.

“Tantangan…” Andrew berdesis mengejek, “aku tidak akan memenangkan pertandingan ini, tidak jika situasinya seperti ini,” dia menggeleng. Bukan karena dia tidak bekerja keras untuk mencapai tujuannya, melainkan situasi perusahaan dan pasaran yang tidak kondusif yang menjadi penghalang terberatnya.

“Kalau begitu ubah situasinya menjadi seperti yang kau inginkan agar kau mampu meraih tujuanmu.”

“Aku akan melakukannya sejak dulu, jika mampu,” Andrew menekan kepalan tangannya di paha. “Kenyataannya adalah bahwa dengan jabatanku sekarang, juga dengan minimnya suara direksi yang masih setia dengan ayahku, aku tidak mungkin mencapai tempatku semula.”

Miyoung menganjurkan tangannya untuk melingkupi punggung tangan Andrew yang tergeletak di atas meja. Dia mengusap pelan, menyalurkan ketenangan.

“Miyoungie,” panggilan yang sekarang menjadi sedikit asing di lidah Andrew, “Aku tidak ingin kau berpikir bahwa aku menggunakanmu sebagai transportasi menuju tujuanku.”

Dari awal, kisah asmara pasangan konglomerat ini tidak menjadi rahasia. Jika mereka kembali berhubungan lagi saat ini, hanya masalah waktu hingga wajah mereka memenuhi headline media. Orang bilang bahwa seumur hidup kau berbuat kebaikan tidak akan terkenang, namun sekali kau berbuat kesalahan tidak akan terlupakan. Andrew tidak akan terkejut jika nantinya masyarakat mengungkit skandalnya sebagai pengkhianatan kepada Miyoung, sebab seperti itulah karakter masyarakatnya. Jika Andrew beruntung, maka dia cukup menelan komentar pahit mereka, tanpa adanya spekulasi yang berkembang menjadi gosip ini dan itu.

Miyoung melipat bibirnya, lalu mengeleng kecil. “Hal demikian tidak pernah terlintas dalam pikiranku.”

Andrew membalik tangannya, memerangkap jemari Miyoung dengan miliknya. “Keluargamu…aku tidak akan menuntut mereka untuk dapat menerimaku dengan mudah, dan kau mengerti alasannya. Aku juga sudah katakan kepadamu berulang kali untuk mempertimbangkan hubungan ini lagi.”

“Dan aku tidak mengubah jawabanku,” sahut Miyoung dengan mantap. “Oppa, hentikan kekhawatiranmu. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan terus menerus menyikapi hal-hal seperti ini, hmm?”

Andrew menahan napasnya beberapa detik, sebelum mengembuskannya bersamaan dengan kedua bahunya yang meluruh turun. Dia menyandar dan merilekskan posisinya duduk sambil menyesapi wangi black coffee yang diantarkan pelayan beberapa menit lalu.

“Senang…mendengarmu memanggilku oppa, seperti dulu.”

…dan senyum malu Miyoung adalah tanggapan.

***

“Andrew,” panggil Yoonra dengan tegas ketika matanya menangkap siluet putranya.

Andrew menggeram ringan, cukup untuk tidak terdengar dan menimbulkan cerocos lain dari ibunya. Maksud hati ingin segera bergelung di ranjangnya setelah pekerjaannya seharian membuat tulang-tulangnya seakan lepas dari mangkuk sendi. Dia berbalik, membuka pintu kamar putrinya yang sudah separuhnya terbuka.

“Masuk dan duduk,” Yoonra memerintah.

Andrew memerhatikan langkahnya agar tidak menginjak beberapa mainan yang tersebar di lantai. Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari kursi atau setidaknya sesuatu yang dapat diduduki. Melangkah ke sudut, Andrew duduk di atas—entah dia pun tidak tahu peti apa, dengan sedikit kurang nyaman tentunya.

Aby merunjung bibirnya, merasa kecewa ketika ayahnya menduduki kotak mainan dimana dia menyimpan Mr. Bear dan Mr. Panda di sana. Dia menekan-nekan kedua kuku ibu jarinya di permukaan pewarna yang lunak sambil tatapan sendunya tidak lepas dari ayahnya. Melepas pewarnanya, Aby menjangkau boneka kelinci bewarna biru muda—yang oleh pengasuhnya yang dulu dinamai Bluebell. “Ja…ngan,” lirih Aby.

Yoonra mengurut keningnya, mendesah ringan dengan tindak-tanduk kebingungan Andrew yang jelas mengisyaratkan bahwa dia tidak pernah mengunjungi kamar putrinya. “Lanjutkan mewarnanya, Aby,” abai Yoonra pada lenguh kecil cucunya.

“Ibu belum menemukan pengasuh?” pertanyaan Andrew lebih terdengar seperti pernyataan.

“Jika kau benar-benar peduli, setidaknya mulailah dengan hal kecil seperti meluangkan waktumu menemani Aby, setidaknya setelah pulang dari kantor.”

Dengan singgungan tersebut, Andrew menutup mulutnya. Pandangannya menjelajah ke isi kamar yang mungkin tidak dilihatnya dalam kurun dua…tiga atau bahkan empat minggu ini. Ingat, dia sibuk di bulan promo Shinan, dan itu adalah alasan valid untuk melupakan kewajibannya. Cish, persetan dengan kewajiban!

Kamar Aby didominasi warna merah muda untuk dinding dan perabotan. Gravity serial Disney Princess mulai dari Belle, Ariel, Sleeping Beauty, hingga yang terbaru Elsa dan Anna. Sebuah ranjang ukuran anak—masih dengan tema princess, terletak di pinggir-tengah. Di samping kiri terdapat almari putih tulang dengan stiker Disney Fairy Thinkerbell, sementara di sisi kanan adalah kotak-kotak maian—yang salah satunya diduduki Andrew. Selembar karpet berbentuk bulat dengan warna pelangi—tempat Aby duduk sekarang, terbentang di depan ranjang. Sebuah kursi santai di sudut kamar berlawanan dengan Andrew—tempat Yoonra duduk, diperuntukkan sebagai kursi orang tua saat melakukan konseling dengan Aby.

Aby mengambil kembali pewarnanya, namun mata sendunya masih melekat pada sosok ayahnya. Dia melirik gambar gajah di buku mewarnai, mengoleskan pewarna kuning untuk mewarnai—yang hasil mewarnanya keluar dari garis dimana-mana. Ketika tatapannya bertemu dengan sang ayah, dia menunduk cepat. Baginya kata ayah bermakna seseorang dengan wajah kaku, suara berat, dan tatapan tajam yang menyeramkan.

“Pengacara Kim meminta bertemu denganmu, membicarakan masalah perwalianmu terhadap Aby,” Yoonra menarik perhatian Andrew. Ketika Aby lahir, Yeol sang ibu tidak mendaftarkannya untuk mendapatkan akta kelahiran. Atas saran dari rekan pengacara, Andrew sebaiknya mengurus akta kelahiran Aby, dalam hal ini Aby disidangkan sebagai anak dari seorang ayah. Mengenai bagaimana Aby bisa mendaftar ke sekolah tanpa memiliki akta lahir, keluarga Choi memiliki caranya sendiri—tidaklah sulit memasukkan seorang anak ke lembaga sekolah yang didanai oleh Shinan.

“Ibu, bisakah kita tunda dahulu masalah ini?” Andrew menatap Yoonra dengan lelah.

“Hingga kapan?” tanya Yoonra dengan tenang, “Hingga Aby mampu memanggilmu ayah dengan benar?”

Dengan sindiran tersebut, kening Andrew mengerut. Dia menyampingkan pertanyaan utama Yoonra, “Ibu mengetahui sesuatu hal yang,” dia mengangkat bahu ketika sulit mencari kosakata yang tepat, “salah pada dirinya?” Pertanyaan itu lolos, sebagai ucapan yang terdengar ganjil.

“Aku tidak mengerti maksudmu,” sangkal Yoonra.

“Ibu bilang tadi ‘memanggilmu ayah dengan benar’, artinya ibu mengetahui ada sesuatu yang salah padanya, kan?”

Yoonra mengangkat punggungnya dari sandaran kursi malas, kemudian mengamati Aby yang sibuk dengan buku mewarnai. Dia meremas jemarinya yang saling terjalin. Mulutnya tertutup rapat, sementara mata tuanya yang berkeriput membendung emosi. Tidak ingin lepas kendali, Yoonra memilih berdiri dari duduk. “Tidak ada yang salah pada dirinya,” tekan Yoonra dengan mengulang kata-kata Andrew yang tidak mengenakkan.

Yoonra melangkah, mendekati pintu untuk keluar dari kamar Aby. “Lakukan apa yang menjadi prioritasmu, namun sebelum itu, pikirkan hal-hal yang menjadi prioritasmu dengan matang, Andrew.” Dia menarik kenop pintu, lalu menoleh sedikit ke belakang, “Pastikan Aby membersihkan diri sebelum dia tidur.”

Andrew menjatuhkan rahang bawahnya, lalu menegakkan punggungnya dengan kaget. Dia ingin memprotes, namun ibunya terlanjur keluar dan menutup pintu. Menggerat giginya dan mengumpat kecil, Andrew melengos ke arah Aby—yang sepertinya tadi memandanginya, namun dengan cepat menoleh ke arah lain ketika pandangan mereka bertemu.

Mata Andrew melirik arah jam dinding, yang masih tidak lepas dengan tema Disney, di dinding depan ranjang. Sepuluh menit berlalu, dan dia belum melihat Aby menaruh pewarna atau menguap atau memberikan tanda apa pun untuk menyudahi kegiatan. Anak itu asyik dengan kertas warna dan pewarnanya; Andrew bahkan mulai ragu Aby menghiraukan keberadaannya.

Berdeham, satu…dua…, dan Andrew tidak mendapat perhatian seperti biasanya jika dia melakukannya. Dia menyedot pipi dalamnya, kemudian membuka mulut. “Kau…tidak mengantuk?”

Tidak mendapat balasan.

Andrew menarik napas, dia bahkan heran untuk menarik perhatian seorang anak kecil membutuhkan pemikiran…atau persiapan. “Kau tidak ingin tidur?” kali ini dia mengeraskan suaranya.

Bergeming.

Kemudian Andrew sampai pada kesimpulan bahwa dia akan tidak diacuhkan jika hanya bertanya tanpa melakukan apa pun. Jadi dia berdiri dan mendekat. Andrew berdeham lagi, kali ini lolos sebagai refleks. Dia menekuk lututnya, lalu dengan kaku menusuk punggung mungil tangan Aby dengan telunjuknya.

Aby mendongak, bibir terkatup rapat—cenderung mencekung, dan mata bulat yang sudah sedikit memerah. Dia menaruh pewarnanya, lalu menunduk lagi. Tangannya menggapai Bluebell, merapatkannya ke dadanya karena saat ini dia takut. Bukan ketakutan yang akan membuat lari atau menggigil, hanya cukup untuk membungkam mulut.

“Bersihkan dirimu,” Andrew mengedikkan dagunya ke arah kamar mandi.

“Kau medengarku?” telunjuk Andrew menepuk ringan pipi Aby. Bukan tepukan afeksi[2], hanya tepukan—itu saja.

Aby meliukkan kepalanya, mirip seperti apa yang dilakukan kura-kura ketika seseorang menyentuh kepalanya. Dia ingin neneknya yang di sini, walau kadang nenek juga berwajah menyeramkan, namun dia lebih memilih nenek daripada ayah. Atau lebih baik lagi, dia ingin pelayan Wang, yang meskipun sudah tua, namun sering tersenyum padanya. Jika ada pengasuh, dia juga lebih baik memilih pengasuhnya yang di sini, walaupun beberapa dari mereka juga berwajah masam kepadanya. Siapa pun asalkan bukan ayah.

“Berdiri, dan lekaslah membersihkan diri,” Andrew menyerah untuk diam—karena diam berarti memperpanjang waktu. Dia memegang masing-masing sisi lengan Aby, kemudian menyentak Aby untuk berdiri. Melepaskan Bluebell dari pelukan Aby, dia lalu mengedikkan dagunya kembali ke arah kamar mandi.

Aby bergeming kaku, wajah menunduk dalam—dan Andrew mengurut kening.

Andre meraih tangan Aby, menuntun putrinya mendekati pintu kamar mandi. Dia melepas tangan Aby, lalu masuk ke dalam dan menyalakan keran kamar mandi untuk mengisi bathtub. Memutar badan, Andrew mencari sabun, sikat gigi dan pasta gigi—yang ketika dia menemukan raknya, dia sedikit kebingungan. Demi apa pun, dia menjumpai berderet produk dari warna merah hingga ungu, yang dia harus mengangkat dan membaca satu persatu guna produknya. Jadi, dia pilih sabun dengan warna merah—sepertinya wangi stroberi, sampo warna merah, pasta gigi juga warna merah.

“Lepaskan pakaianmu.” Andrew berdiri di antara gawang pintu. “Sikat gigimu terlebih dahulu, lalu gunakan spons untuk menyabun.”

Aby mendongak, memandang ayahnya sebentar, kemudian melongok ke arah kamar mandi. Dia berjalan ragu. Biasanya nenek, pelayan Wang, atau pengasuh akan menuntunnya dan membantunya melepaskan baju. Akan tetapi kali ini tidak ada dari ketiga orang itu; hanya ayah di sini. Jika dia merengek, maka mata ayahnya akan semakin melotot—dan dia takut hal itu.

Andrew menyingkir, membiarkan Aby masuk ke kamar mandi. Dengan tangan terlipat di dada, dia memerhatikan gerak-gerik Aby. “Jangan lupa untuk menyampo rambutmu dan tutup keran jika airnya penuh.” Semudah ini Andrew pikir. Dia menutup pintu kamar mandi, tidak sampai tertutup rapat. Memberikan…privasi? Aby tetap seorang gadis, kan?

Sepertinya sepuluh menit telah berlalu. Oh, tidak, bahkan lima belas menit. Kaki Andrew mulai mengentak-entak kecil, sementara jemarinya berderum ringan di lengannya yang terlipat. Telinganya tidak mendengar guyuran air sama sekali.

Aneh.

“Jangan lupa menggosok sela-sela jari kakimu!” teriak Andrew.

Senyap—yang kemudian menjadi isyarat bagi Andrew untuk mendekat.

Mendorong pintu kamar mandi yang memang tidak tertutup rapat, Andrew melongokkan kepala sebelum keterkejutannya menjadikan tangannya secara refleks melebarkan pintu. Hilang kata. Mata Andrew membulat. “Apa yang kau—“ dia menggeram tanpa menyelesaikan kalimatnya.

Aby diam—basah, sambil melihat ayahnya dengan pandangan lugu. Tangannya yang sedang menekan botol sabun dalam keadaan terbalik—untuk menambahkan sabun di bathtub-nya, terhenti. Gelembung-gelembung telah memenuhi permukaan air, sementara sabun di tangannya hanya merupakan sabun badan, bukan bubble bath. Dia suka berendam, dan kali ini dia melakukannya tanpa melepaskan bajunya. Salahkan ayahnya yang memerintahkan ini itu dengan beruntun hingga dia tidak bisa mengingatnya!

“Pelayan Wang!” teriak Andrew di ujung kerongkongan sambil berkacak pinggang. “Pelayan Wang! Panggilkan aku pelayan—siapa pun itu!”

…dan walaupun Andrew berteriak hingga kerongkongannya berdarah, dia tidak akan mendapatkan apa pun karena tidak ada seorang pun di rumah itu, kecuali sang ibu yang diam di depan pintu kamar Aby.

Bagian [4]

“Ibu meliburkan semua pelayan?” Andrew meletakkan jaket kulitnya di puncak sandaran sofa. Dia hanya tidak habis pikir tindakan ibunya yang membebastugaskan semua pelayan, mekipun ini akhir pekan.

Yoonra menoleh, kemudian memindahkan piring berisi apel kupasan dari pangkuannya ke sisi Aby. “Ini Sabtu,” jawab Yoonra ringan, seolah dia tidak terganggu dengan nada terusik Andrew.

“Bahkan koki dan pelayan Wang?” sahut Andrew dengan sindiran tak percaya.

“Mereka berhak menikmati liburan.”

“Tidak masuk akal.”

“Setidaknya kita bisa menikmati hari ini bertiga.”

Mendongak sambil berkacak pinggang, Andrew lalu menekuk lehernya. Demi kekacauan semalam! Ibunya bahkan tidak menunjukkan rasa terganggu sedikit pun. Sebuah catatan dimana Andrew sendiri yang mengangkat Aby dari bak mandi, lalu membersihkan semua kekacauan termasuk Aby sendiri. “Kita…” Andrew berdesis, “Ibu pasti bercanda.”

Memasang wajah datar, Yoonra menarik napas dalam untuk menghadapi sikap putranya. “Batalkan kegiatanmu hari ini, dan duduk,” perintah Yoonra dengan tenang tanpa mengurangi ketegasannya.

Andrew bergeming di tempatnya sambil memerhatikan putrinya yang tidak terpengaruh dengan interaksinya dengan sang ibu. “Ibu tidak bisa mengaturku dengan kaku seperti dulu,” sanggah Andrew dengan mata memicing.

“Ibu mengundang seseorang,” ujar Yoonra masih mempertahankan ketenangannya, “dan jika kau benar-benar ingin tahu mengenai kondisi Aby, maka duduk.”

Tangan terkepal erat, dan Andrew rasa-rasanya ingin meninjukannya ke sesuatu. Ibunya tidak berubah, tetap otoriter seperti apa yang dia kenang di masa lalu. Memerintah ini itu, mengatur sana sini. “Aku kehilangan rasa ingin tahuku,” dia menyambar jaket, siap melangkah.

“Nam Ryung,” dan ucapan tersebut menghentikan langkah Andrew. Yoonra memutar kepalanya sedikit, kemudian mengulas seringai getir. Dia tahu betul apa yang menghentikan putranya. Bukan karena nama tersebut memiliki suatu kaitan langsung dengan Andrew, melainkan karena Andrew selalu tertarik dengan segala hal mengenai sepupunya. Obsesi atau apa pun sebutannya, dia tahu Andrew menempatkan Seunghyun sebagai rival yang harus dilampaui. “Irish Nam, psikolog yang Ibu undang untuk berkonsultasi mengenai kondisi Aby.”

“Ibu sengaja melakukannya?” tanya Andrew akan tujuan ibunya mengundang Nam Ryung sebagai psikolog Aby.

“Dia psikolog yang dianjurkan oleh Sunshine,” dalih Yoonra.

Seakan Andrew percaya dengan alasan ibunya. Memicing mata, Andre memandang sikap tenang ibunya—dan kemudian dia tahu, dia kalah. Kakinya memutar, kembali ke hadapan sang ibu. “Jam berapa dia datang?” tanyanya dengan nada rendah penuh tekanan amarah.

“Beberapa menit lagi.”

Aby, yang duduk di karpet bawah dan sedang menonton film kartun favoritnya, menoleh karena mendengar suara berat ayahnya. Mata bulatnya menginspeksi Andrew. Di akhir minggu seperti ini, dia selalu suka memandang gaya ayahnya yang lain dari hari-hari biasa. Ayahnya akan mengenakan kaos, kadang berkerah kadang juga tidak, bewarna putih, gelap, atau bewarna—dan Aby lebih menyukai putih. Celana bewarna biru gelap yang dikenakan ayahnya pun berbeda, kali ini lebih melekat di kaki.

Andrew menyandarkan punggungnya di punggung sofa dengan kasar. Hari Sabtu adalah harinya menekuni hobi membalap—kecepatan adalah cara ampuh untuk memicu adrenalin, golf, atau berkumpul dengan teman-temannya. Dia mengusap wajahnya, lelah. Mungkin minggu ini bukan miliknya.

Merasa diperhatikan, Andrew kemudian memandang ke bawah. Ketika tatapannya bertemu dengan Aby, gadis cilik itu malah memaling lagi ke acara favoritnya. Sudah tidak mengherankan jika Aby selalu menghindari kontak dengannya, sekali pun hanya tatapan.

Bunyi bel pintu berdering, menjadikan Yoonra beranjak dari duduk. Tidak biasanya wanita baya ini membukakan pintu sendiri bagi tamunya—pelayan yang biasanya melakukan. Seperti ini, hanya beberapa kali yang bisa dihitung oleh jari.

Selang beberapa saat, Yoonra kembali ke ruang keluarga. “Nona Nam, ini putraku Andrew.”

Andrew lekas-lekas berdiri dan mengulurkan tangan, “Andrew Choi.”

“Nam Ryung.”

Meskipun tidak asing dengan nama Nam Ryung, namun ini adalah kali pertama Andrew bertemu secara personal dengan gadis ini. Pertama kali melihat Ryung adalah ketika pesta anniversary Shinan beberapa bulan lalu. Tentu saja wanita tersebut datang karena menjadi pasangan Seunghyun.

Sepertinya keturunan Choi identik dengan rupawan. Tidak hanya Seunghyun, sepupunya pun demikian. Seperti Seunghyun, Andrew juga memiliki postur tegap, dan tinggi mereka tidaklah terpaut jauh. Selain itu, kaos yang melekat pas di badan praktis mempertontonkan bentuk tubuh atletis Andrew.

“Aby,” panggil Yoonra yang tidak direspon. Menyadari akan sia-sia jika hanya memanggil Aby, Yoonra lalu mendekat dan menyentuh pundak mungil cucunya tersebut. “Berdiri, dan sapalah teman ayah.”

Dengan bibir cemberut, karena kegiatan menontonnya terusik, Aby menuruti perintah neneknya. Dia memandang satu-satunya orang asing di ruangan ini, yang oleh nenek disebut sebagai teman ayah. Rambut panjang dan cantik, juga teman ayah, “Tenta Yoo…” pekik Aby.

Yoonra menggeleng kecil, “Dia bukan Tante Miyoung.” Dia kemudian menggandeng Aby untuk mendekati Ryung.

Ryung menekuk kakinya untuk menyamakan pandangan dengan Aby. Dia mengulurkan tangan dan membelai pipi tembam Aby, “Hai,” sapanya. “Siapa namamu, Cantik?”

Aby mengadu alisnya, lalu memandang neneknya dengan tatapan tanya. Nenek benar, ini bukan Tante Miyoung. Pandangannya kembali lagi kepada Ryung ketika sang nenek memberinya isyarat dengan kedikan dagu. “A…by,” jawabnya meski terbata.

Baik Andrew maupun Yoonra cukup lega Aby bisa memperkenalkan dirinya. Paling tidak, gadis cilik ini tahu cara mengucapkan namanya dengan benar.

“Ini Abigail, Nona Nam,” sambung Yoonra, “dia berusia 5 tahun.”

Ryung mendongak ke arah Yoonra, sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada Aby. “Aby mau bermain sebentar dengan Tante Ryung?”

***

Kyuhyun mengumpat untuk kesekian kali di pagi ini. Jika bukan karena teman-oh-so-dearly-nya, Shim Changmin, akhir minggu ini dia sudah memaku pantatnya di depan PC untuk menghancurkan alien. Dia mengecek kembali arlojinya, lima menit datang lebih awal dari jam yang dijanjikan dengan…penguasa Yongguk. Ah…tangan Kyuhyun mengusap kembali wajah paginya—yang dia hanya sempat mencuci muka dengan kilat dan menggosok gigi. Jangan memprotes, dia menerima telepon dari pihak Yongguk semalam, kemudian lupa menyetel alarm bangun pagi di hari Sabtu—dan garis bawahi ini hari Sabtu.

Alasan Kyuhyun di sini adalah Shim Changmin…Shim Chwang yang menjadi teman semenjak dia masih mengisap jari, sok pamer dengan meng-hack website milik Yongguk. Bodohnya, anak itu tidak sengaja mengubah sesuatu di dalamnya, dan lupa untuk mengacak nomor IP. Tentu saja dengan sekali lacak, Yongguk menemukan nomor IP Kyuhyun—karena Chwang melakukannya dengan menggunakan PC Kyuhyun. Oh, well done Shim Chwang!

Kyuhyun merunjung bibirnya, lalu mengembus napas sebal. Begitu gentingnya kah masalah ini hingga pihak Yongguk tidak bisa menunggu sampai hari Senin, huh? Bahkan sang pemimpin meminta Kyuhyun menemuinya di lounge hotel, menunggui hingga dia selesai bermain tenis—atau entah apa itu.

Miyoung, tanpa mengganti pakaian tenisnya, berjalan dengan santai ke lounge. Pagi ini dia menjanjikan seseorang untuk bertemu. Dia berhenti sejenak saat menangkap lelaki yang duduk menyandar rendah di punggung kursi dengan kaki menselonjor, sangat jelas kekesalannya. Miyoung terkekeh kecil.

Pertama kali Miyoung melihat pria ini, Cho Kyuhyun, adalah ketika dia menghadiri suatu konferensi teknologi di Geneva, Swis. Dia yang pada mulanya jengah, sedikit membaik moodnya ketika melihat seseorang dari negaranya—perasaan senasib, muncul di panggung dan mempresentasikan sebuah karya. Plus, diantara para professor berkepala botak, dia menemukan juga anak muda sepantarnya yang walaupun berwajah serius, namun bibirnya yang mencebik terlihat manis.

Menggeleng kecil, Miyoung kemudian mendekat. “Selamat pagi, Cho Kyuhyun?”

Kyuhyun buru-buru menegakkan badannya, lalu bagkit dari duduk. Dia berdeham dan meneleng kepalanya barang sedikit sebagai ungkapan heran. Tadinya dia membayangkan akan bertemu dengan pria bangka yang memimpin tampuk Yongguk, bukan dengan…gadis belia yang cantik…dan—okay, “seksi,” hanya tertahan di benak saja. Kyuhyun berdeham lagi untuk menguasai diri.

“Hwang Miyoung, successor Yongguk.”

As you know, Cho Kyuhyun,” ucap Kyuhyun sambil menyambut tangan Miyoung.

Miyoung mengangkat tangan, mengisyaratkan untuk duduk.

Kyuhyun menaikkan alisnya, meneleng kepalanya ke belakang, tepatnya memerhatikan apa yang tidak tertutup oleh mini-skirt-tennis Miyoung, “height: 5’3’’ or more, 32-24-34[3].” Sabtu ini, bukan yang terburuk menurut Kyuhyun.

“Jadi…” Miyoung sengaja mengulur kalimatnya, menguji reaksi Kyuhyun.

“Oke, mengenai pembajakan itu—aku,” Kyuhyun mengangkat kedua tangannya ke muka pundak, “—kau tentu tidak akan percaya jika kukatakan bahwa yang melakukannya bukan aku, melainkan temanku, dan dia sama sekali tidak bermaksud merusak sistem Yongguk,” cerocos Kyuhyun.

“Klise,” komentar singkat Miyoung.

Right!” Kyuhyun menyerah, lalu menyandarkan punggung. Dia tahu demikian adalah alasan umum, yang akan dilontarkan seorang untuk defensif—terima kasih Chwang untuk hal ini.

“Yongguk, oh baiklah, aku—“ tekan Miyoung mengganti subyeknya, “tidak terlalu mempermasalahkan pembajakan itu.”

Dengan itu, Kyuhyun berwajah masam. Jika tidak menjadi masalah, lalu mengapa Yongguk harus mengganggunya di Hari Sabtu? Dia melipat kedua tangan di depan dada, memicingkan matanya, dan menutup rapat mulutnya.

Miyoung menahan diri untuk tidak melebarkan senyum. Bagaimana tidak? Pria di depannya ini seumuran dengannya, namun rasa-rasanya Miyoung ingin mencubit pipi dan mengacak rambut Kyuhyun. Tidak bisakah Kyuhyun menyembunyikan ekspresi masygulnya yang malah terlihat menggemaskan daripada mengintimidasi?

“Hanya saja…” pada pengecualian Miyoung ini, Kyuhyun mulai tidak suka. “Yongguk tentunya tidak segampang itu meloloskan masalah ini. Citra perusahaan dipertaruhkan di sini.”

“Salahkan sistem keamananmu yang lemah,” gerutu Kyuhyun dengan cepat dan lirih.

Sayangnya Miyoung dapat menangkap ucapan Kyuhyun. “Apa mau dikata, kami kekurangan ahli untuk mengatasi masalah ini.”

Kyuhyun mengangguk paham. Situasi seperti ini, dimana perusahaan berbelit-belit ingin meminta bantuannya sebagai teknisi sekuritas perusahaan, dia sudah sering mengalaminya. “Dan kau memintaku untuk mengisi posisi teknisi?” ucap Kyuhyun tanpa basa-basi, “tidak—terima kasih.”

Miyoung terkekeh pada akhirnya. Pria ini, selain menggemaskan, juga terlalu percaya diri. Menggeleng kecil, Miyoung meredakan tawanya. Dalam imajinasinya, dia membayangkan Kyuhyun adalah baby Russel di film Up yang tengah membanggakan dirinya karena meraih pin untuk selempang pramukanya.  “Penawaranku seperti ini, aku akan menghentikan proses hukum terkait kecerobohan temanmu, dengan syarat bahwa kau bersedia menjadi informanku.”

Kyuhyun mengangkat alisnya, mendengar dengan jelas bahwa Miyoung menginginkannya  menjadi informan, bukan untuk Yongguk, melainkan diri Miyoung sendiri. “Jika aku tidak mau?”

“Kau bisa bersiap menempatkan pantatmu di sel penjara.”

Kyuhyun menjengit, mengerutkan ekspresinya. “Jangan kira aku tidak bisa membayar pengacara untuk menyelamatkan pantatku.”

“Dan kami memiliki lebih dari satu pengacara untuk tetap menjebloskan pantatmu ke penjara.”

Bibir Kyuhyun mengerut, masam. “Jika aku menerima tawaranmu?”

“Kau bisa menempatkan pantatmu di ranjangmu dengan nyaman, plus, aku akan memberikan bayaran untuk setiap informasi yang kau berikan.”

Kyuhyun mencekungkan pundaknya. Dia tahu, jika dia melawan akan berakhir sia-sia. “Untuk informasi jenis apa? dan untuk berapa lama?”

Miyoung mengetuk pipinya dengan jemari, berpikir—yang menurut Kyuhyun terlihat cantik. “Untuk semua yang ingin ku ketahui. Mungkin untuk dua atau tiga bulan ke depan.”

“Mematai pacarmu apakah memiliki selingkuhan atau tidak?” ejek Kyuhyun.

Miyoung tersenyum geli lagi. “Mungkin…” jawabnya tidak jelas. “Aku tidak akan menyuruhmu menguntit pacarku—jika itu yang kau khawatirkan.”

Kyuhyun menjentikkan telunjuknya ke arah Miyoung. Sepakat untuk hal itu.

“Aku hanya menginginkanmu duduk di belakang PC-mu, melihat ini dan itu, lalu melaporkan padaku.”

“Kurasa aku tidak memiliki pilihan?”

Miyoung mengangkat kedua bahunya, lalu memberikan ekspresi ya sebagai jawaban.

***

“Disleksia.”

Andrew mengerjap, membenahi posisi duduknya begitu Ryung mengucapkan penalty bagi gangguan yang diderita Aby. “Apa?”

“Disleksia, itu resume yang bisa kuberikan saat ini. Jika menginginkan pemeriksaan lanjut, Anda bisa membawa putri anda ke ahli neurologi.”

Andre mendongak, lalu mengembus napas lelah. “Buang formalitas,” suruh Andrew, “aku hanya tidak nyaman menggunakannya di hari ini, terlebih di rumah.” Dia menguasai diri. “Kau yakin?”

Ryung mengedik bahunya ringan, setuju untuk usulan Andrew. Mungkin dengan seperti itu, dia—Andrew, merasa tidak tertekan. “Abigail cenderung membolak-balik suku kata maupun kata dalam kalimat. Dia juga kurang mampu untuk mengulangi suatu kalimat sederhana yang kuucapkan. Selain itu, dia tidak bisa memahami lebih dari dua perintah yang diucapkan secara berurutan. Lebih dari itu…” Ryung melipat bibirnya, “jika kau memerhatikan kesehariannya, dia cenderung ceroboh.”

“Bukankah disleksia adalah gangguan dalam membaca?” Andrew mengadu alisnya.

“Secara awam, itu penjelasan yang mudah diterima.”

“Lalu bagaimana bisa, Aby yang bahkan belum bisa membaca mengalaminya?”

“Tanda disleksia terkadang muncul bahkan sebelum seorang anak belajar membaca. Pada anak-anak pra sekolah, tanda yang muncul adalah seperti yang kukatakan tadi.”

Andrew mengangguk dengan wajah kaku. “Dia harus menjalani terapi?”

Ryung mengangguk untuk mengiyakan. “Lebih tepatnya, bimbingan lebih dalam belajar.”

Andrew mengusap wajahnya, lalu menangkup bibirnya. Dia menopang dagunya. Tampak sekali ekspresi lelah di sana.

“Apakah sebelum ini, Aby pernah mendapat perawatan atau terapi psikologi?” tanya Ryung ragu. Selama dia berinteraksi dengan Aby, anak itu beberapa kali mengulang perintah dengan salah—yang ulangan tersebut biasanya merupakan respon bagi tes psikologi yang lain. Lebih tepatnya, semacam CBT[4]—jika Ryung tidak salah tebak.

Andrew membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia memandang Ryung sebentar, menelisik ekspresi Ryung untuk mencari keyakinan. Tentu saja dia tidak bisa begitu saja percaya dengan orang lain, terlebih orang ini adalah tunangan dari sepupu yang menjadi rivalnya. Beberapa detik, Andrew hanya diam dan memandang Ryung dengan determinasi.

Mengerti diawasi, Ryung mencoba merilekskan diri. Ini adalah dimana seseorang sedang memutuskan apakah akan mempercayainya atau tidak—dan dia hafal dengan hal ini. Dia bekerja dengan klien atau pasien yang memiliki masalah psikis, bukan hal baru jika mereka mengamatinya untuk menilai apakah dia—Ryung, patut dipercaya atau tidak.

Menyerah, Andrew memperbaiki posisi duduknya. Dia menjilat bibir untuk membasahinya. “Aby adalah saksi tunggal kasus bunuh diri ibunya.”

TBC*

Note:

Maaf karena memerlukan waktu lama untuk update.

takutnya masalah Jessie membuat mood kalian down untuk baca ff ini.

Eum, kenapa diganti cast?

  1. Bahwa akhir-khir Jessie sedang dalam situasi kritis mengenai karirnya di GG. Bukan berarti aku mengganti karena Jessie keluar dari GG, hanya takutnya mood baca kalian akan turun karena masalah Jessie.
  2. Memperhatikan perkembangan: yes, I already took a stand for the 8. Bukan berarti aku membenci Jessie. Menurutku mereka berpisah karena memiliki prioritas yang berbeda (terlepas itu dengan drama pengeluaran atau apa pun). Jessie memiliki impian, jika memang impian itu tidak bisa sejalan dengan GG dan tidak bisa tercapai lewat GG; bagiku keluar dari GG lebih bijak. Jadi bagi fans Jessie, tetaplah dukung segala aktifitas Jessie nantinya.

[1] Black coffee: kopi tanpa campuran susu atau krim (creamer).

[2] Afeksi: kasih sayang

[3] 5’3’’ (5 feet, 3 inch) = 160 cm. 32-24-32: ukuran 32 for boobs, 24 for waist, 32 for hips.

[4] CBT: cognitive-behavioral teraphy.

77 thoughts on “[3] [4] The Pretension

  1. Oh.. pantes si Aby begitu. Kebayang deh kenapa si Aby bisa begitu. Tuh kan.. cinta segiempat haha. Pasti nanti si seunghyun akhirnya menjomblo (sok tau) hahaha. Ditunggu part selanjutnya, kakak author~~ kesan baca ff disini masih tetap sama. Bikin penasaran dan bahasa penulisannya bikin nyaman dibaca

  2. HalcaliGaemKyu says:

    ya ampun
    jd ibu kandung aby bunuh diri?? dan aby melihatnya sendiri?
    pantes aby jd punya masalah gitu.
    aby keliatan bgt takut sama ayahnya sendiri, siwon. mungkin krn gk deket dan jarang ada interaksi antara siwon dan aby. jd aby merasa asing.
    kasian…
    kelanjutannya aku tunggu bgt eonni
    gumawo

  3. Ya ampun…anak sekecil itu menjadi saksi bisu kematian ibu nya? pantesam Aby kurang dalam tumbuh kembangnya kayanya trauma yang di alaminya membuatnya seperti ini *aduhh aku kok sotoy banget sih* kekeke

  4. amidamaru says:

    Jadi si ibu bunuh diri,karena apa ya.. Waktu si ibu bilang ke minyoung kalo dia punya waktu 2,3 tahun lagi aku pikir dia sakit.. Apakah aby trauma karena melihat ibunya bunuh diri

  5. Kereen bangeet..
    Kasian bgt sm aby atau abigail..
    Semoga aja siwoon atau andrew choi lebih dkt lg sm aby biar aby nya gak kesepian atau takut pas tatapan sm siwon
    Keren lah pokonyaa..
    FF yg jarang ditemuin..
    Keep writing and fighting eon^^

  6. Wah aku emang udah ngira kalau ibu nya aby meninggal. Kukira gara2 saat mengandung dia minum sama ngerokok. Jadi alasannya gara2 bunuh diri juga penyebab aby jadi beda dari anak yang lainnya. Suka deh! Makin menarik aja, whehe

  7. sincostaa says:

    hmmm okay di bagian akhir di buat penasaran, dan ak baru liay trnyta si aby lahir di jepang, dri awal sih penasaran kmna si mamanya aby, biasanya kan psti bakal ada permasalahan sma si ibunya trnyta si ibu sudah meninggal

    pngen lebih bnyak adegan si aby sma daddynya hihi

    keep writing, im waiting for the next chaps, I really excited with this stories… fighting!!!!

  8. hai…noona.
    Maaf….seperti yg ku katakan sebelumnya,.aku kurang nyaman membaca ff ini karna beberapa kata sapaan di ff ini yg berbeda dari biasanya.Yah..aku tahu noona punya alasan tersendiri,
    Untuk isi cerita aku tidak pernah meragukan Noona,.Aku tunggu kelanjutannya. ^_^

    FIGHTING!!!!

  9. konflik kisah cinta segi empat.
    Dan ada abigail sebagai penengahnya.
    dugaan sementara aku ya bgini
    Well aku salut sama Miyoung masih menerima Andrew.
    Entahlah setiap buat ff kaka selalu ga jauh-jauh dari konflik perusahaan.
    Sikap Andrew sama putrinya sendiri kikuk banget.

  10. ryeola says:

    Waaa. Baru liat update an terbarunya.
    Aku masih belum bisa mambaca alur ceritanya akan kemana.
    Masih belum bisa baca konfliknya selain siwon yang kehilangan tahtanya karena skandal dan berkeinginan kembali merebut tahta itu.
    Mungkin dengan postingan selanjutnya akan lebih paham alur nya gimana.
    Ditunggu sangat eon kelanjutannya 🙂

Would you please to give your riview?