Upheaval


Upheaval

tumblr_mzesuaIEpt1sjcjt9o1_500

Kyuhyun and Miyoung—The Pretension version | PG-16

“Akan saya copy-kan segera, Nona Hwang. Besok pagi, saya kirimkan pada Nona,” wanita berkepala empat, yang telah memiliki dua putri itu, mengekori langkah Miyoung. Dengan beberapa map beserta ipad di tentengan tangan kanannya, dan beberapa cindera mata pemberian seorang klien di tangan kirinya, dia masih lincah mengikuti langkah cepat Miyoung sepangjang koridor JW Marriott, di jantung kota Shanghai, Cina.

“Tidak menjadi masalah bagiku—meskipun hingga petang esok, dokumen kontrak itu belum selesai.” Miyoung menjawab dengan enteng. Wajah letih yang sepuluh menit lalu dia tampakkan di depan klien, kini mencerah—meskipun jejak letih itu tidak sepenuhnya menghilang.

“Nona Hwang, klien kita kali ini—“ Saeun, yang merupakan sekretaris Miyoung mencoba mengingatkan, sebelum ucapannya terpotong saat Miyoung membalik badan.

“Aku paham,” tegas Miyoung—yang lebih mirip seperti ungkapan masa bodoh ketimbang makna sebenarnya. Dia kemudian memutar badannya lagi, melanjutkan langkahnya menuju kamar hotel. Ketika berkata demikian, Miyoung siap dengan konsekuensinya apabila perjanjian kerja sama Yongguk dengan investor dari Cina tersebut gagal.

“Miyoung-ie…”

Nada itu, panggilan itu—lalu Miyoung berhenti seketika, tepat di depan pintu kamar hotelnya. Saeun tidak sekadar sekretaris baginya. Wanita itu adalah seorang teman, kakak, dan sekaligus sosok ibu bagi Miyoung. Dengan memijit pelipisnya, Miyoung menghadap Saeun, bersiap mendengar pendapatnya.

Appa-mu sangat mengharapkan keberhasilan kerja sama ini.”

“Tapi aku tidak.”

“Bahwa penolakanmu hanya berdasar pada perasaan tidak nyaman?” tanya Saeun, “Aku belum pernah melihatmu berlaku tidak profesional seperti ini.”

“Aku melakukan research, dan berdasarkan temuanku, Qianshi tidak—belum layak untuk mendapat tender ini.”  

Research yang kau lakukan bersama bocah itu?” terdapat sedikit nada menyindir dalam ucapan Saeun, “Research yang mempertanyakan kerjasama Yongguk dan Qianshi selama 15 tahun?”

Miyoung menarik napas, “Pertama, bocah yang kau sebut memiliki nama—dan namanya adalah Kyuhyun. Kedua, dia berumur 29 tahun—tidak lagi pantas disebut bocah. Ketiga, ya—aku mempertanyakan kerja sama selama belasan tahun itu.”

“Kalau dia bukan bocah, sudah sepantasnya jika kalian…” Saeun menurunkan bahunya—lelah, “Aku akan memesankan kamar lagi untuknya.”

“Tidak perlu,” putus Miyoung cepat, sebelum Saeun berlalu, “demikian akan sia-sia.”

“Youngie,” otot wajah mengerut—kesal dan gemas. “Perlukan aku juga mengingatkanmu bahwa kau dan Andrew sedang berusaha memperbaiki ikatan kalian?”

Miyoung diam. Mungkin jika Saeun melihat apa yang dia lihat minggu kemarin, dia akan berkata lain. Ah, hari itu adalah salah satu hari menjengkelkan bagi Miyoung. Meeting-nya berjalan dengan tidak mulus karena gangguan teknis, lalu kabar dari Kyuhyun memperburuknya—Kyuhyun tidak menemukan informasi mengenai orang yang dia incar. Lebih sialnya ketika malamnya dia berjalan sepanjang Myeongdong—sebagai pelampiasan kekesalan hari itu, dengan Kyuhyun yang mengekor di belakangnya, dia harus melihat mantan tunangannya berpelukan dengan wanita lain.

Mungkin itu jenis pelukan penghormatan yang diberikan rekan kerja, kecuali wajah Andrew yang kemudian melesak ke pundak sang wanita. Mungkin itu jenis pelukan dari teman ke teman, kecuali tangan sang wanita yang mengelus lembut punggung Andrew. Mungkin itu jenis pelukan seorang saudara, kecuali tangan Andrew yang kemudian balas memeluk erat, seolah ingin meluruhkan diri ke dalamnya.

Tentu langkah Miyoung terhenti saat itu, begitu pun dengan Kyuhyun. Tidak ada air mata—yang walaupun Kyuhyun mengatakan tidak keberatan jika Miyoung menggunakan pundaknya untuk menangis—yang bagi Miyoung demikian adalah hal termanis yang pernah Kyuhyun lakukan padanya, dia tetap tidak melakukannya. Dia marah, sangat marah—mungkin karena itu air matanya tidak keluar, kan?

“Ini masalah pekerjaan—murni pekerjaan,” jawab Miyoung.

“Termasuk sekamar dengan seorang pria?” Saeun hampir-hampir berteriak, andai tidak mengingat Miyoung adalah atasannya.

“Kami hanya butuh tempat privasi untuk berdiskusi. Itu saja.”

“Dan bagaimana jika Andrew mengetahuinya?”

Miyoung mengetuk pintu di depannya. “Kecuali jika kau membuka mulut, semuanya akan baik-baik saja.”

Saeun memandang Miyoung dengan wajah frustrasi. “Kau berubah—sejak mengenal Kuhyun, atau siapa pun itu.”

“Perubahan tidak selalu berarti negatif,” seloroh Miyoung tetap dengan nada masa bodohnya. Bersamaan dengan itu, pintu terbuka, menampakkan Kyuhyun dengan kaos biru laut dan celana piyama bergaris bewarna abu. “Namanya Kyuhyun,” tekan Miyoung sekaligus koreksinya atas kesalahan Saeun—dan Kyuhyun hanya bisa mengerutkan dahinya bingung.

“Hwang Miyoung!” gertak rendah Saeun, sebelum Miyoung berlalu menutup kamar hotelnya.

***

Shanghai, tidak berbeda dengan Seoul—padat dan hetic, pikir Miyoung. Setelah sedikit mengambil waktu untuk merilekskan diri dengan berendam air hangat, Miyoung kira dirinya akan kembali fresh, lalu siap dengan segala dokumen yang menunggu untuk tertangani—nyatanya tidak.  Bathrobe putih, rambut tergulung dengan anak-anak rambut yang melekat di bingkai wajah karena basah, sofa nyaman menghadap pemandangan kota, dan kaki tertekuk. Hampir setengah jam Miyoung bergeming dan melamun.

Kyuhyun mendekat, mengulurkan gelas wine yang berisi tidak lebih dari separuh—namun dia harus menarik kembali tawarannya karena Miyoung agaknya tidak tertarik. Mengedik bahu ringan, Kyuhyun tak ambil pusing. Dia menyesap wine di tangannya, sementara matanya mengikuti arah pandangan Miyoung. “Masih berpikir untuk mempertahankan Qianshi?” tanya Kyuhyun yang sekaligus menjadi tebakan atas diamnya Miyoung.

“Yongguk telah lama menjalin kerja sama dengan Qianshi. Tidak semudah itu untuk memutuskan jalinan kerja sama ini.”

“Itu masalahmu, sementara aku hanya memberikan data—dan data tidak pernah berdusta,” pongah Kyuhyun atas keberhasilannya membobol email petinggi Qianshi, lalu menemukan beberapa bukti transaksi ilegal kepada Hwang Taejoo—ayah Miyoung sendiri.

Miyoung hanya menyeringai kecil. Bahwa selama ini ayahnya memiliki akun di suatu bank di Swiss, dia baru saja mengetahuinya. Sayangnya, kabar itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Entah apa hubungan antara ayahnya dengan Qianshi sehingga berhak mendapatkan sejumlah tip.

Kyuhyun memerhatikan kembali Miyoung yang sepertinya masih memiliki beban selain masalah Qianshi. “Kenapa?” tanyanya dengan singkat, yang dia asumsikan Miyoung pasti mengetahui arah pertanyaannya.

Jika bukan karena privasi yang terjaga ketat atas mulut-mulut yang terkunci rapat, maka orang lain akan mampu mendengar rumor kotor mengenai putri generasi Yongguk yang bermalam dengan seorang pria. Mungkin orang lain yang tidak mengenal Miyoung, hanya akan mengira dia seorang perempuan yang sedang menghabiskan liburan bersama suami atau pacarnya.

Menghela napas panjang, Miyoung bukannya tidak mengetahui arah pertanyaan Kyuhyun. “Pertanyaanmu memiliki bermacam topik jawaban,” Miyoung tidak ingin bersikap sok-tidak-tahu karena dari bermacam kemelut di pikirannya, Kyuhyun terlibat di dalamnya. Setidaknya, untuk satu orang ini saja, Miyoung tidak ingin tidak acuh.

“Kalau begitu, aku berminat mendengar jawabanmu dari berbagai topik,” Kyuhyun mengambil tempat, duduk di sebelah Miyoung. “Waktuku cukup luang, jika hanya digunakan untuk mendengarkan jawabanmu.”

Menekuk lututnya semakin merapat ke dada, Miyoung sekadar memberi ruang bagi Kyuhyun—tentu dengan sangat berhati-hati agar kain bathrobe-nya menutup sempurna apa yang seharusnya tertutup. “Yang menjadi perhatianmu?” tantang Miyoung.

Eum…Kalau begitu, aku ingin tahu kenapa kau tidak menuruti perkataan baby sitter-mu.”

“Dia sekretarisku,” Miyoung hanya menggeleng ringan dan melebar senyum geli—mengetahui siapa dan apa yang dimaksud Kyuhyun.

“Sekaligus baby-sitter bagimu,” tekan Kyuhyun.

“Kau selalu seperti ini?” tanya balik Miyoung. Sejak pertama dia berjumpa Kyuhyun, yang merupakan peneliti dan pengajar muda, dia mengagumi analisis dan ketelitian Kyuhyun baik dalam bidang keilmuannya maupun  kondisi sekeliling.

Jawaban datang dengan lengkung bibir ke bawah dan kedik bahu kecil. Kyuhyun menyesap lagi wine-nya. Demikian dia hanya mempertegas bahwa apa yang ditanyakan Miyoung hanyalah retoris.

“Bukankah di umurku, aku sudah dianggap bertanggung jawab terhadap diriku sendiri?” jawab Miyoung yang diakhiri dengan nada tanya. Dia memulai berargumen, mengapa ini kali kedua mereka—dirinya dan Kyuhyun, sekamar.  Pertama adalah ketika penandatanganan sebuah kontrak kerja di Jepang, dan saat itu adalah ketidaksengajaan bahwa mereka menghabiskan malam berdua—Kyuhyun tertidur di meja dengan dua laptop menyala, sementara Miyoung tertidur di atas ranjang dengan beberapa dokumen yang tersebar dan sebuah tab yang mati akibat kehabisan baterai. Akibatnya, satu kamar yang di-booking untuk Kyuhyun pun terbengkelai.

Kyuhyun diam, belum berkomentar. Kali ini tidak seperti di Jepang. Dia tahu Miyoung sengaja tidak memesankannya sebuah kamar. Melalui sekretaris Miyoung yang memandangnya dengan antipati, dia menyimpulkan bahwa alasan sekamar ini yang membuat wanita itu bersikap demikian.

“Termasuk menentukan dengan siapa aku bermalam…cish, teman sebayaku melakukannya bahkan tiga atau empat tahun lalu.”

“Teman sebayamu?” seringai Kyuhyun bermaksud mengejek. Sesungguhnya tidak perlu bertanya masalah ini pun, Kyuhyun bisa menebak—bahkan dengan tepat, tapi kali ini dia tidak ingin memamerkan analisisnya…tidak, jika analisis itu juga tidak dia sukai.

“Aku membutuhkanmu mengerjakan pekerjaanmu di sini dan kau membutuhkan semua akunku untuk melakukannya. Jadi anggap saja ini sebagai win-win solution.”

Kyuhyun tertawa rendah dengan gaya yang paling tidak Miyoung sukai karena itu berarti Kyuhyun merendahkan argumennya. “Win-win solution, huh? Jika bukan karena teman oh-so-dearly-ku yang melakukan sabotase tidak sengaja pada website Yongguk, aku tidak akan sudi menempatkan pantatku di sini untuk menebus kesalahannya,” dan Kyuhyun dalam hati kecilnya mengakui sedikit kebohongan dalam ucapannya. Oh, Kyuhyun bukan tipikal orang berjiwa besar yang akan melakukan ini dan itu dengan sukarela—abaikan bayarannya, untuk seorang yang bahkan baru dia kenal dua bulan lalu.    

“Lalu menurutmu, seperti apa situasi kita?” Miyoung menumpu sikunya di puncak punggung sofa.

Pada pertanyaan ini, Kyuhyun terjebak dengan sarkastisnya sendiri. Dia meneguk wine hingga tak ada lagi sisa di gelas, lalu memandang Miyoung dengan sedikit memicingkan mata. “Aku yang terlalu berbasa-basi atau kau yang terlalu lihai?” sindir Kyuhyun lagi. “Pertama, aku menerima alasanmu mengenai pekerjaan—yang tidak sepenuhnya salah. Kedua, kau hanya menggunakanku untuk membuat cemburu pacar atau tunangan atau apa pun kau sebut itu,” terang Kyuhyun dengan lugas.

Miyoung hanya tertawa kecil—nyaris tanpa suara. Dia kembali melempar pandangannya ke arah kesibukan kota. “Sebuah pemberontakan kecil—aku pikir perlu sesekali dilakukan.”

Mata Kyuhyun menangkap layar ponsel Miyoung, yang berada di atas ranjang, berpendar—menandakan ada pesan atau telepon masuk. Kyuhyun yakin dia melihatnya beberapa kali dalam setengah jam ini. Tanpa menengok layarnya pun, dia tahu siapa yang mengirim pesan atau menelpon; karena hanya ada 2 kemungkinan: klien atau…tunangan Miyoung. Dia ingin menyangkal Miyoung dengan mengatakan bahwa dia tidak ingin terlibat dalam permainan Miyoung, namun perkataan yang tersusun di otaknya tersangkut di ujung lidah. Demi apa Kyuhyun tidak suka menceburkan dirinya dalam masalah—ingat dia tidak berjiwa besar. Kali ini dia seakan berdiri di gawang pintu yang memisahkan antara ruang masalah dengan tanpa-masalah, dan dia terpaku, tidak seperti biasanya yang akan berlari menjauh.

Tanpa disadari rahang Kyuhyun mengejur dan itu sebuah tanda baginya untuk memberi jarak. Jadi dia berdiri dan berkata angkuh, “Kalau begitu jangan lupa memasukan bonusku dalam tagihanmu,” dan Kyuhyun menyelamati dirinya dalam hati yang telah menceburkan diri dalam masalah. “Bodoh”, makinya kepada diri sendiri.  

Hmm…” gumam Miyoung ringan. Andai pandangannya teralihkan ke arah Kyuhyun, daripada kota, dia tidak akan melewatkan raut mendung Kyuhyun.

“Dan hei, bisakah kau mengganti bathrobe-mu dengan pakaian yang sepantasnya—itu menggangguku!”

Miyoung terkekeh geli, kemudian menoleh ke arah Kyuhyun. “Kau terlihat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu,” selorohnya. Bodoh, dia lupa. Meskipun dia sering mengatakan bahwa Kyuhyun sangat menggemaskan, namun Kyuhyun tetaplah seorang pria.

***

Bagian yang Kyuhyun bingungkan adalah ketika Miyoung menggangengnya ke acara charity ball di Shanghai yang disponsori salah satunya oleh Qianshi. Alisnya berpadu, hampir-hampir kedua ujungnya menyatu. “Kau sedang bergurau, heh?”

“Tidak,” ujar singkat Miyoung yang kedua tangannya sibuk memakaikan dan merapikan dasi Kyuhyun. Mengangkat wajah, Miyoung tersenyum seakan hal yang dia lakukan—mengajak Kyuhyun ke suatu acara resmi, adalah sesuatu yang wajar. “Malam ini kau terlihat tampan daripada cute,” sanjungnya. Mungkin nanti dia akan membuat catatan bahwa Kyuhyun terlihat memesona daripada menggemaskan ketika poninya terangkat menjadi jambul. Kyuhyun memiliki dahi lebar yang indah. Sepasang mata Rudolpd-red-reindeer yang membuatnya terlihat imut, hidung mancung, dan bibir tebal yang memesona. Walaupun alisnya tidak setebal milik Andrew—ah pikir Miyoung terhenti di situ, Andrew lagi.

Tsk!” sahut Kyuhyun merespon pujian Miyoung. Jika dia bersikap lebih lunak, maka boleh jadi akan memuji balik Miyoung yang mengenakan gaun merah panjang, senada dengan dasinya, yang backless. Dengan lipstick bewarna merah menyala yang mengontras dengan kulit, sungguh Kyuhyun tergoda untuk mengacak warna merah itu dengan bibirnya sendiri. Tidak perlu muluk-muluk memujinya karena sebenarnya Kyuhyun lebih menyukai wajah polos Miyoung.

Ah, saat itu ketika di Jepang dimana dia memandangi Miyoung yang tertidur di ranjang dikelilingi pekerjaan…dan dia sedikit—oh tolonglah hanya sedikit, mengambil keuntungan dengan mengecap—garis bawahi hanya mengecap, bibir perempuan itu. Ok, tindakan itu hanya impulsifnya sebagai seorang pria, kan?

Menangkap sesuatu di pergelangan Kyuhyun, Miyoung melarikan jemarinya di sana. Dahinya mengerut saat matanya menemukan sebuah gelang tali anyaman bewarna coklat tua dengan sebuah pendulum kuno di tengahnya. Miyoung menelitinya, “Aku baru melihat ini? Sejak kapan kau menjadi penggemar gelang kuno?”

Kyuhyun berani bersumpah bahwa pipinya memanas ketika tidak sengaja jemari Miyoung menyentuh kulit tangannya. “Hanya sebuah jimat untuk menghindarkanku dari kesialan—terutama malam ini,” selorohnya untuk menutupi rasa gugup. Sementara yang disebut jimat adalah benda peninggalan orang tuanya.

“Baiklah…” Miyoung melepaskan pergelangan Kyuhyun, kemudian mengalung tangannya di lengan Kyuhyun, “kalau begitu kau tidak perlu gugup karena kau memiliki jimat dan ini hanya sebuah charity.”

Kemudian Kyuhyun memandang Miyoung dengan pandangan are-you-freaking-kidding-me. Andai Miyoung tidak dirumorkan menjalin kembali hubungan dengan Andrew, andai Miyoung hanya perempuan biasa, dan andai dirinya adalah Andrew! tentunya kata hanya sebuah charity benar-benar bermakna denotasi. Kenyataannya dengan berjalan bersama Miyoung di hanya sebuah charity ini—yang dihadiri oleh sosialita atas, dia seperti selingkuhan Miyoung yang sedang dipublikasi.

Lagipula…bukan charity ball ini yang membuat dirinya gugup.  

Malam itu, Kyuhyun sedikit merileks ketika Miyoung memperkenalkannya sebagai personal assistant-nya, dan itu akan sangat menjelaskan andai mereka tertangkap sarapan bersama di lobby hotel. Bagai sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui; pulau pertama adalah rumor tak sedap mereka—jika ada, pulau kedua adalah membuat cemburu Andrew—jika itu berhasil. Tsk! Perempuan ini.

***

Konsekuensi datang bahkan hanya beberapa detik setelah Miyoung menginjakan kakinya di rumah, setelah kembali dari Shanghai. Pipi yang memerih karena tamparan dari sang ayah, Miyoung sudah pernah merasakan seperti ini sebelumnya ketika dia mengagalkan sebuah tender skala besar.

“Apa maksudmu?” tanya dingin Hwang Taejoo.

Miyoung mengeraskan ekspresinya. Andai dia masih memiliki ibu, tentunya akan ada seseorang yang membelanya atau setidaknya mencegah ayahnya berbuat demikian. Dalam situasi seperti ini, Miyoung telah belajar untuk diam karena jikalau pun dia membuka mulut untuk membela diri, tidak akan berarti di depan ayahnya.

“Pernahkah aku mengajarimu untuk menjadi wanita murahan, heh?” Kemarahan Taejoo benar-benar mendidih di ubun-ubun. “Dan apa yang kau harapkan dengan menunda renewal kontrak dengan Qianshi?”

Miyoung bergeming.

“Jawab aku Hwang Miyoung!”

Menarik napas, Miyoung memberanikan diri menatap wajah memerah ayahnya. “Aku sama sekali tidak melakukan hal hina yang ada di pikiran Appa saat ini dengan pria mana pun.”

“Datang ke charity ball dan tertangkap di lobby hotel bersama seorang pria selain tunanganmu, bukan merupakan hal hina?!”

“Kami hanya rekan kerja, itu saja.”

Taejoo melemparkan beberapa foto, yang merupakan foto antara Miyoung dan Kyuhyun selama di Shanghai. “Pengajar muda di SNU, sekaligus seorang peneliti dan ahli IT. Kerja sama seperti apa yang kau jalin dengannya?”

Miyoung sudah tidak heran jika ayahnya menelisik profil Kyuhyun dengan cepat. Beliau mempunyai sumber informasi terpercaya, juga cepat. “Ini urusanku, dan bukan ranah Appa untuk mencampurinya.”

“Hwang Miyoung!” sentak Taejoo keras. Di sudut ruangan, Saeun berdiri gelisah menunggui atasan langsungnya dimarahi. “Putuskan apa pun jenis hubunganmu dengan bocah itu! Atau—“

“Atau apa, Appa?” Miyoung mengenal betul ayahnya, juga dengan ancamannya. “Appa akan melakukan segala hal untuk mengeluarkan dirinya dari SNU? Kalangan akademis milik negeri bukan wilayah yang Appa bisa jangkau,” mantap Miyoung.

“Kecuali jika Cho Kyuhyun saat ini sedang mengejar penelitiannya melalui kerja sama dengan suatu koporat swasta—yang kabar baiknya CEO korporat itu adalah teman appa bermain golf,” ucap Taejoo sebagai skakmat. “Jika kau tidak ingin menjadi penyebab kegagalan bocah bernama Cho Kyuhyun itu untuk mengejar gelar professor-nya, sekaligus mimpinya untuk menjadi professor termuda, maka batalkan semua jenis hubunganmu dengannya.”

Miyoung mengejurkan rahanyanya dan mengepal tangannya dengan erat.

“Satu hal lagi, Hwang Miyoung,” ingat Taejoo, “malam ini juga kau bertemu dengan Andrew untuk membahas pernikahan kalian.”

Appa!” kejut Miyoung sebagai bentuk protes.

“Tidak ada yang perlu ditunda lagi. Sudah sewajarnya jika kita mempercepat pernikahan kalian.” Taejoo menenangkan diri, kemudian mengambil buku yang satu jam lalu belum selesai dia baca.  

Menguasai napasnya yang memberat akibat keputusan sang ayah, Miyoung masih memiliki tanggungan yang belum terselesaikan terkait perjalanannya ke Shanghai. “Mengenai Qianshi, ada beberapa hal yang harus kupertimbangkan sebelum melakukan renewal kontrak kerja. Salah satunya adalah…” Miyoung mengumpulkan keberaniannya, “…dana suap yang Appa terima dari Qianshi.”

Butuh 3 detik untuk memahami ucapan Miyoung, “Hwang Miyoung!” bentak Taejoo yang berdiri dari duduknya.

“Selamat siang, Appa,” kalem Miyoung sebelum berlalu, sebagai ejekan.

***

Miyoung memelankan langkahnya ketika matanya sudah menangkap letak duduk Andrew. Pria yang dulu pernah bertunangan dengannya itu nampak sempurna seperti biasa. Setelan jas abu gelap, scraft biru muda, cambang halus, rambut depan yang tersisir rapi ke belakang, dahi indah, alis tebal yang memesona sekaligus mengintimidasi, dan bibir tipis yang…ah Miyoung malas untuk mengingat kapan terakhir kali mereka berciuman.

Miyoung lebih memilih datang sendiri ke restoran tempat mereka berjanji bertemu daripada menerima tawaran Andrew untuk dijemput. Alasannya? Mungkin dia masih marah dan kesal, walaupun sebenarnya ketika di Shanghai Andrew beberapa kali mencoba mengubunginya—dan Miyoung menolak semua panggilan dan pesan Andrew.

“Hei,” sapa Andrew yang langsung berdiri dan menarikan kursi bagi Miyoung untuk duduk.

Tipikal Andrew yang selalu bersikap gentleman, pikir Miyoung. “Hai,” balas Miyoung sembari membenahi gaun putih selututnya ketika duduk.

“Aku memesankanmu—“

“Terima kasih,” potong Miyoung. Tidak perlu dilanjutkan karena Miyoung tahu Andrew hafal dengan menu favoritnya, terlebih ini restoran tempat mereka sering makan malam. Andrew tersenyum, yang membuat Miyoung berlipat-lipat merasa bersalah padanya. Mungkin Miyoung termakan cemburu buta hingga mengaburkan logikanya. Padahal Andrew masih di sini, memperlakukan Miyoung seperti wanitanya.

Appa menginginkan pernikahan kita dipercepat,” ucap Miyoung tanpa basa-basi. Dia lelah karena pagi ini bahkan baru kembali dari Shanghai, sementara siangnya mengoreksi beberapa kontrak kerja yang menumpuk di mejanya.

“Tidakkah lebih baik kita menunggu hidangannya sebelum membicarakan hal tersebut?” Memandang wajah lelah Miyoung, Andrew menganjurkan tangannya untuk menjangkau jemari Miyoung di atas meja. “Youngie?” panggilnya dengan lembut.

Miyoung mengangkat pandangannya atas panggilan ini. Sejak dia mengenal Andrew ketika masih berusia 9 tahun, Andrew selalu menjadi prince-with-white-horse dalam imajinasinya. Andrew yang tampan, Andrew yang bersikap sopan. Andrew, Andrew, dan Andrew. Ketika Andrew mengambil pascasarjana dan doktoralnya di luar negeri, dia menunggu. Ketika Andrew berbuat salah dengan tidak sengaja meniduri wanita lain hingga lahirlah Aby, dia masih berharap hal itu hanya fase buruk pada hubungan mereka dan Andrew akan kembali padanya—yang terjadi sekarang.

Akan tetapi ketika harapannya untuk terikat dengan Andrew ada di depan mata, dia seolah meragu akan hal yang belum dia mengerti. “Apakah oppa menginginkan pernikahan ini?”  

Meremas jemari Miyoung, Andrew tersenyum datar—tetap tulus, namun bagi Miyoung terlihat beban menggantung di sana. “Jawabanku seperti ini, Youngie; jika kau siap, aku pun siap.”

Beberapa detik memahami jawaban Andrew, Miyoung menarik jemarinya yang digenggam oleh Andrew. Itu bukan jawaban yang Miyoung ingin dengar—sama sekali bukan. “Dan bagaimana dengan wanita yang menjadi psikolog Aby?”

Andrew mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?” tanyanya masih dengan nada lembut.

Miyoung masih ingat bagaimana wajah mengerut Kyuhyun saat menyampaikan temuannya. “Wanita yang bersama pacarmu…Nam Ryung, psikolog yang sedang mengambil speliasis, sekaligus putri desainer ternama Han Yoonhae—bahkan mungkin kau memiliki koleksi busana rancangan ibunya. Kabar baiknya, aku mengontrak kamar di rumah ayahnya.” Kyuhyun mengangkat bahu, “Dunia memang sempit, bukan?”

Memejamkan mata sejenak, Andrew menyandar punggungnya. Dia menelaah ucapan Miyoung dengan baik. “Segala informasi yang kau terima mengenai aku dan Ryung, kutegaskan bahwa kami berdua tidak menjalin hubungan romantisme apa pun bentuknya.”

Namun Miyoung, sebagai seorang perempuan, yang melihat bagaimana rileksnya Andrew ketika berpelukan dengan Ryung—dan itu cukup merupakan sesuatu yang patut dikejar, tetap pada pendapatnya. “Belum,” jawab Miyoung untuk mengganti kata tidak Andrew. Dia tidak salah mengartikan kegelisahannya terhadap Andrew—bukan cemburu buta karena dia cukup melihat apa yang seharusnya terlihat. Dari bagaimana Andrew dengan hati-hati mengklarifikasi mengenai Ryung, juga merupakan pertimbangan Miyoung untuk memikirkan kembali pernikahan mereka.

“Youngie,” lenguh memohon Andrew.

Oppa tidak akan pernah siap—tidak akan,” Miyoung menggelengkan kepala, lalu bangun dari duduknya. Perasaannya terluka—tentu saja. Wanita mana yang tidak sakit apabila sang kekasih meragukan hubungan mereka. Jadi Miyoung mempercepat langkahnya keluar dari restoran, berjalan sejauh mungkin dari Andrew.

“Youngie!”

Miyoung mengabaikan panggilan sayang itu. Untuk sementara hingga hatinya mengukuh lagi, dia tidak ingin melihat Andrew. Luka dan sakit ini sama dengan saat dia mendengar Andrew yang menyelingkuhinya—walaupun dengan ketidaksengajaan.

Mengaduk isi tasnya, Miyoung mengambil ponselnya dan menekan nomor daruratnya. Rasanya ingin tertawa, dulu dia mengejek Kyuhyun yang mendaftarkan nomornya di speed dial Miyoung, mengatakan bahwa itu adalah nomor darurat—dan kini benar. “Kau dimana?” serobot Miyoung begitu teleponnya tersambung.

Errmm…jalan utama Myeongdong.”

“Lebih spesifik,” perintah Miyoung.

Terdengar hela napas pasrah Kyuhyun, “di depan counter LG, di persimpangan dengan pohon natal raksasa yang menyilaukan dan orang berpakaian santa yang bertindak konyol, puas?”

“Kalau begitu tetap di sana.”

“Kau tahu ini musim dingin?” sarkastik Kyuhyun.

“Maka tetap di situ.”

“Ya! Hwang Miyoung!” pekik Kyuhyun sebelum sambungan dimatikan sepihak oleh Miyoung.

Miyoung masih menghitung ini sebagai keberuntungan karena dia tahu tempat itu; dia melewatinya tadi dan dia hanya perlu berjalan memutar satu blok. Kemudian Miyoung mengayun kakinya dengan cepat, tidak memedulikan bahwa coat-nya tertinggal di restoran, tidak memedulikan bahwa hawa dingin menggigit kulit pundaknya yang hanya terlapisi kain tipis. Napasnya yang sedikit terengah dan keluar dari mulut membuat asap putih tipis, sementara pipinya serasa mati rasa.

Lalu mata Miyoung menangkap seseorang dengan parka biru gelap, topi bobble bewarna merah yang memiliki puncak seperti bola wol, dan syal tebal biru navy yang menutup bibir dan hidung. Andai Miyoung tidak mengenalnya dengan dekat selama dua bulan terakhir, mungkin dia tidak akan mengenali sosok itu. Baginya, Kyuhyun tampak begitu fluffy, begitu hangat, dan…begitu kesal—Miyoung menyunging sudut bibirnya barang sedikit.  

What da’ hell…” umpat Kyuhyun ketika matanya menangkap balik Miyoung yang berjalan ke arahnya hanya dengan mengenakan gaun selutut bewarna putih, tanpa baju hangat, tanpa syal. Dia menurunkan resleting parka untuk melepaskannya, lalu berniat memberikannya pada Miyoung. “Ya! Apakah kau gi—“

…dan ucapan Kyuhyun terpotong sesaat Miyoung menubrukkan dirinya pada Kyuhyun; menyusupkan kedua tangannya melalui parka Kyuhyun, melingkari pinggang pria itu, lalu mengubur wajahnya di dada Kyuhyun. Benar, Kyuhyun sangat hangat.

Otak Kyuhyun terlalu lambat untuk beproses, “Heish,” makinya ketika kesadarannya kembali. Dia menarik kedua tepi parka, lalu membelitkannya pada tubuh Miyoung sehingga praktis Miyoung tersembunyi di dalam pelukannya. Tidak perlu bertanya karena Kyuhyun selalu bisa menerka; wajah ber-makeup, gaun indah, berlari di tengah cuaca dingin tanpa baju hangat—Andrew pastinya. Dia pun mencebikkan bibirnya, lalu balas mendekap Miyoung dengan erat. Setidaknya saat ini Miyoung bersamanya.

Setelah beberapa saat, yang Miyoung lupa untuk menandai waktu telah berapa lama bergulir, dia mendongakkan wajahnya. Tersenyum adalah satu-satunya hal yang saat ini bisa dilakukan. “Kau begitu hangat.”

Cish,” desis Kyuhyun yang membuka lilitan syalnya dengan satu tangan karena tangan lainnya digunakan menjaga tepi parka menyatu di punggung Miyoung. “Kau bodoh atau apa, hah?” makinya sambil melilitkan syal pada leher Miyoung tanpa melepaskan syal dari lehernya sehingga keduanya melekat dekat.

“Mungkin,” senyum getir Miyoung—yang bagi Kyuhyun tetap terlihat memesona sampai-sampai matanya enggan teralih.

Bisa jadi karena mereka berdiri di samping pohon natal sehingga hati keduanya seakan terasa aman, bisa jadi karena malam terlalu dingin sehingga otak keduanya terlalu malas untuk memikirkan hal lain. Jadi Kyuhyun memberanikan diri mendekatkan wajahnya, lalu bibirnya menjangkau bibir Miyoung—yang selalu menggodanya akhir-akhir ini.

Kyuhyun tiba-tiba mengingat pembicaraannya dengan Changmin kala itu. “Hei berterima kasihlah padaku, setidaknya kau bisa sering bertemu dengan Hwang Miyoung. Aku bukan orang seceroboh itu—kau tahu,” jawab Changmin dengan enteng ketika dia murka karena harus bekerja untuk menyelamatkan pantat Changmin. Saat itu wajah Kyuhyun memerah, siap meledakkan amarahnya lagi sesaat Changmin menyahut, “Aku hampir-hampir bisa melihat liurmu keluar ketika kau memandangi wajah putri generasi Yongguk itu di majalah bisnis—dan hei, sejak kapan kau berlangganan majalah bisnis, huh?”

Changmin benar-benar hilang akal…Kyuhyun menyeringai kecil, sebelum menyusup bibir atasnya diantara kedua bibir Miyoung. Dia melumatnya dengan lembut ketika Miyoung balas mengatupkan bibir—memerangkap bibir atas Kyuhyun diantara bibirnya. Damn, kenyataan akan lembutnya bibir Miyoung melebihi apa yang menjadi bayangannya. Secara sadar, tangan Kyuhyun menjangkau kepala belakang Miyoung untuk lebih merekatkan ciuman mereka. Tubuhnya bergairah, tengkuk dan wajahnya memanas di tengah udara dingin. Kyuhyun bahkan lupa sensasi ini, terakhir kali adalah bersama pacarnya di sekolah menengah atas—tapi kali itu tidak semenakjubkan sekarang.

Kedua tangan Miyoung mencengkeram kerah kaos Kyuhyun saat lumatan Kyuhyun membuat logikanya tertepis. Dia masih bisa membedakan bahwa yang menciumnya Kyuhyun, bukan Andrew, namun demikian dia enggan untuk mundur. Malam ini Kyuhyun terlalu hangat, terlalu terlihat menggemaskan daripada biasanya. Persetan dengan sakit hatinya…karena luka itu seolah lenyap begitu bibirnya bertemu dengan milik Kyuhyun. Dia bahkan malu untuk mengakui lenguhan kecilnya saat ujung hidung Kyuhyun menggesek pipinya, sementara bibir Kyuhyun secara bergantian mencumbu bibir atas dan bawahnya.

Mungkin karena Miyoung mengingat perkataan sang ayah, yang mendorong dirinya menggoda bibir Kyuhyun dengan lidahnya. Dia tidak ingin ini menjadi pertemuan terakhir, dia juga tidak ingin memutuskan kerja samanya dengan Kyuhyun. Cish, kerja sama…sepertinya apa yang ada diantara dirinya dengan Kyuhyun melebihi hal itu, namun Miyoung enggan untuk mengartikannya dengan dini. Cukup ciuman ini.

Kyuhyun menerima tantangan itu—menyesap lidah Miyoung, yang membuat dadanya seolah akan meledak. Tidak peduli apakah tindakannya dibenarkan atau tidak, dia hanya ingin memfokuskan diri pada diri Miyoung saat ini, hingga…

Bug!

Kejadian itu terlalu cepat hingga yang ketika pikirannya utuh, Kyuhyun telah tersungkur di jalanan yang dingin dengan rasa panas dan nyeri menyengat di pipinya.

Oppa!” pekik Miyoung, yang menahan Andrew untuk mendekati Kyuhyun.

Melingkupi Miyoung dengan baju hangat, Andrew kemudian menggeret pergelangan tangan wanitanya—ah andai saja. “Ikut denganku.”

Ingin memprotes, namun tenaga Miyoung bukan tandingan Andrew. Dia menoleh dengan khawatir pada Kyuhyun, sambil melafal kata maaf tanpa suara agar Kyuhyun tetap menangkap maksudnya dan Andre tidak bertambah murka. Pasrah saat dirinya dipaksa masuk ke mobil Andrew, menjadikan tiga puluh menit perjalanan mereka berdua diisi dengan kebisuan.

Tanpa kata perpisahan, Miyoung keluar dari mobil Andrew begitu terhenti di depan pintu rumahnya. Dia marah, dia kesal…dan dia khawatir.

Setelah mengampas kepalanya di sandaran jok, Andrew menyusul Miyoung. Dia membungkuk hormat ketika berpapasan dengan Hwang Taejoo, lalu berjalan cepat menuju kamar Miyoung. Jangan tanyakan bagaimana Andrew mengenal baik seluk beluk rumah keluarga Hwang, jika dia sering mengunjunginya sejak masih berusia 12 tahun.

Andrew mengatur deru napasnya, sebelum dia membuka pintu kamar Miyoung. Di sana, di ranjang, Miyoung mendudukan dirinya dengan kepala tertunduk, dan Andrew yakin dia melihat air mata mengaliri pipi Miyoung. Kemarahan yang tadi menguasai hatinya, tiba-tiba lenyap. Hatinya terasa dicekam. Dia tidak ingat terakhir kali melihat Miyoung menangis—mungkin saat Miyoung berumur 9 tahun, saat beberapa anak lelaki merebut boneka Barbie miliknya. Dia bahkan tidak melihat Miyoung menangis ketika kabar pengkhianatannya sampai ke telinga perempuan ini. Baginya, Miyoung selalu kuat—dan memang demikian.

Menekuk lutut, Andrew berlutut di depan Miyoung. Tangannya menganjur, membelai pipi Miyoung, sekaligus mengusap air mata perempuan ini. “Hei, tatap aku,” mintanya ketika Miyoung melengos. Andrew tidak ingin dianggap asing karena dia yakin, sampai saat ini, dialah yang paling berhak melihat kondisi lemah Miyoung. Kemudian Andrew melihatnya, menangkapnya—segala perasaan Miyoung, dari sorot mata.

Rasa cemburu, marah, dan yang paling dominan adalah gelisah. Lalu sesuatu menyentak pikiran Andrew, dan dengan berat dia bertanya, “Kau…jatuh hati pada pria itu?”

Seharusnya Miyoung dapat menggeleng dengan cepat, namun kali ini lehernya terasa kaku. Dia hanya merasa terbiasa melihat Kyuhyun selama dua bulan terakhir; melihat wajah serius Kyuhyun ketika berhadapan dengan komputer baik untuk pekerjaan atau game, melihat tawa Kyuhyun ketika menonton streaming komedi tengah malam—dan bagi Miyoung itu adalah tawa yang mencandukan, melihat sorak kemenangan Kyuhyun ketika berhasil mensabotase suatu akun, dan melihat seluruh ekspresi menggemaskan Kyuhyun. Meskipun Kyuhyun sering bersikap apatis dan berkata sarkastis, dia tetap memiliki sisi yang manis, seperti membiarkan Miyoung menyandari bahunya ketika kepenatan akan pekerjaan menguasai, menjawab semua pesan dan telepon Miyoung, dan juga apa yang dilakukan malam ini.

“Aku tahu jawabannya,” ujar Andrew yang akan berdiri, namun ditahan oleh Miyoung.

Oppa, ini…kami…tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Lalu seperti apa yang kupikirkan, Youngie?” Miyoung mengeram rendah sebagai jawaban. Jemari Andrew mengangkat dagu Miyoung. Tidak ada bedanya dengan Miyoung, bagi Andrew jatuh cinta pada Miyoung adalah default—tanpa suatu usaha dan secara otomatis. Semua yang Andrew imajikan akan sosok seorang wanita idaman ada pada diri Miyoung; cantik dan mandiri. “Apakah perasaanmu padaku masih sama, Youngie?” Andrew menelusurkan ibu jarinya di bibir Miyoung—dan demi apa, dia benci mengingat beberapa saat lalu bibir ini dijamah pria lain.

“Hal sama ingin kutanyakan padamu,” jawab Miyoung.

Andrew memejamkan mata dan menghela napas frustrasi. Dia tidak bisa marah kepada Miyoung karena akhir-akhir ini pun perasaannya teraduk akan sosok Ryung. Akan tetapi, apa pun itu, dia berjanji akan menomorsatukan Miyoung. Wanita ini dikenalnya sejak kecil, sementara Ryung hanya beberapa bulan terakhir. Wanita ini yang menunggunya, yang tetap mengasihi dan menerimanya ketika dia berbuat salah. Dia akan dengan pasti menjawab bahwa hatinya dapat sepenuhnya mencintai Miyoung lagi—dan itu bukan kebohongan. Baginya, jatuh cinta kepada Miyoung bukanlah hal sulit.

“Kurasa, kita butuh waktu untuk berpikir.” Andrew mengusap tengkuk Miyoung dengan penuh kasih, kemudian mengecup dahi Miyoung dengan serupa.

Oppa, aku dan…” lidah Miyoung terasa dipelintir, “Kyuhyun, kami juga tidak berkomitmen akan suatu romantisme. Lagipula, appa—“

Andrew tersenyum getir, usapannya di puncak kepala Miyoung menghentikan kalimat Miyoung, “Jadi pria itu bernama Kyuhyun?” Mengulum bibir barang sejenak, Andrew dengan mantap mengucapkan, “Aku selalu mencintaimu, Miyoung—terlepas dari bagaimana kau mengartikan cinta ini. Jika ketakutanmu hanya karena ayahmu, maka biarkan aku menjadi garansimu—jika kau memutuskan untuk menerimaku baik atas dasar rasa cintamu atau atas dasar nama keluargamu, maka aku akan menikahimu dengan sepenuh hatiku; jika tidak…” Andrew mengulum ludahnya yang baginya kali ini terasa pahit, “…maka aku berharap bisa melepaskanmu bahagia.”

Sungguh perkataan Andrew adalah hal yang menentramkan hatinya saat ini. Seakan Andrew ingin mengatakan bahwa apa pun situasi yang Miyoung hadapi, dia masih memilikinya. “Kau tidak perlu melakukannya, Oppa.

“Mungkin aku seperti itu,” Andrew mengusap lengan Miyoung, “namun aku tetap ingin melakukannya, Yongie—untukmu.”

Memandang kesungguhan Andrew, Miyoung meluluh.

“Aku akan bicara dengan appa-mu mengenai pernikahan kita,” lalu Andrew mencium pipi Miyoung, sebelum berdiri. Hell, dia sebenarnya merindukan ciuman mesra mereka, namun dengan insiden ciuman Miyoung dengan Kyuhyun tadi, dia meragu Miyoung akan menerima ciumannya.

“Selamat malam, Youngie.”

***

Nyatanya pembicaraan Andrew dengan Hwang Taejoo berakhir dengan terusirnya Andrew dari kediaman keluarga Hwang dengan urat-urat leher yang masih menonjol karena adu argumen yang alot. Kemudian esok harinya, berita yang cukup mengejutkan keluar.

Hwang Miyoung, successor dari Grup Yongguk dikabarkan telah digantikan oleh saudara sepupunya sendiri, Hwang Daehan. Pergantian calon pemegang tampuk puncak Yongguk ini dikonfirmasi pagi ini oleh Kim Youngmin, bagian humas Grup Yongguk.”

Berita itu teringang di telinga Kyuhyun, sebelum dia memfokuskan dirinya pada Saeun yang menemuinya. Belum sempat Saeun mengutarakan maksud menemui Kyuhyun, perhatian mereka tersita oleh breaking news dari siaran televisi yang berada di café ini. “Apa yang terjadi?” tanya Kyuhyun dengan sangat khawatir. Baru semalam dia bertemu dengan Miyoung—dan rasa bibir Miyoung masih membekas di bibirnya, pagi ini seolah semua berubah dengan cepat. “Dia baik-baik saja?”

Saeun mau tak mau tersenyum ketika melihat mimik khawatir Kyuhyun. Bocah ini—ahem, pria ini agaknya tulus peduli kepada Miyoung. “Nona dalam kondisi baik—dia tentu saja terkejut akan hal ini, namun kupastikan Nona dalam emosi yang relatif stabil.”

“Setelah disingkirkan dari pewaris Yongguk?” heran Kyuhyun yang meragukan pernyataan Saen.

Lagi-lagi Saeun ingin terkikik, mengamati ekspresi heran Kyuhyun yang baginya terlihat cute. Entah pria ini sengaja atau tidak mengerucutkan bibirnya hingga membuatnya menggemaskan. “Dia terkejut—ya, namun Nona bukan tipikal seseorang yang terus menerus larut dalam keterpurukan tanpa melakukan tindakan apa pun. Dia masih menghimpun suara dewan direksi yang mendukungnya.”

Kyuhyun mengangguk paham, “Apakah ini ada hubungannya dengan…” dia bingung untuk mengatakan kejadian antara dirinya dengan Miyoung tadi malam.

“Qianshi,” jawab Saeun, “Ini tentang Qianshi dan…” Saeun menimbang apakah dia akan memberitahu alasan kedua Miyoung dicabut haknya dari tahta Yongguk.

“…dan?” Kyuhyun, setia dengan ekspresi kekhawatirannya yang tercetak sangat jelas—alis mengadu dan bibir merunjung.

Alih-alih menjawab, Saeun kemudian tersenyum. Kyuhyun orang yang baik, dia yakin itu sekarang—dan ya, pria ini sangatlah manis jika dibanding dengan Andrew yang cenderung maskulin. “Miyoung dan Andrew sepakat untuk menunda pernikahan mereka. Alasan ini pulalah yang membuat murka Hwang Taejoo.” Saeun mengatakannya juga.

Bukan hanya karena wajah khawatir Kyuhyun, melainkan sebagai wanita yang telah berumah tangga, dia memahami bahwa segala hal tak terkecuali perasaan masih bisa berubah—dan dia sedikit melihat perubahan itu di diri Miyoung semenjak mengenal Kyuhyun. Miyoung yang biasanya mandiri, sekarang sedikit banyak tergantung dengan Kyuhyun—tentu bukan dalam artian negatif. Adakala Miyoung memang membutuhkan tempat berbagi, selain dirinya, dan Kyuhyun adalah orang yang tepat—sampai saat ini.

“Aku menemuimu, sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa Nona ingin mengakhiri segala kesepakatannya denganmu.”

“Apa?” Kyuhyun mengadu alisnya. Pendengarannya masih baik dan otaknya cukup mampu menelaah maksud Saeun. “Maksudmu…aku tidak perlu lagi bekerja…”

“Ya,” jawab Saeun dengan mantap.

Ekspresi khawatir Kyuhyun berubah menjadi lebih mendung. Dia menyandar punggungnya di punggung kursi dengan lemas—dan itu tidak terlewatkan oleh Saeun.

Sebelum Saeun berdiri, dia berucap, “Kesepakatan boleh saja berakhir, namun tidak berarti yang telah terjalin diantaranya juga berakhir.” Saeun memundurkan kursinya. Ketika mata Kyuhyun memandangnya dengan berharap, dia berkata, “Jika kau ingin menemuinya, kau tahu harus menghubungi siapa. Aku tidak yakin setelah ini, kondisi tidak akan membaik.”

***

…dan seperti itulah yang terjadi seminggu kemudian—bertambah buruk. Puncaknya adalah dua hari lalu yaitu pertengkaran Miyoung dengan Taejoo, berakhir dengan terusirnya Miyoung dari rumahnya sendiri.

Di sinilah, di sebuah hotel di tengah Seoul, Miyoung bermalam untuk malam kedua. Andrew beberapa kali menghubunginya, menawarinya tempat untuk bermalam, namun Miyoung menolaknya karena apa yang ditawarkan Andrew tidak lain adalah apartemen Andrew. Bukannya Miyoung merasa risih, karena baginya lebih mudah menerima tawaran Andrew daripada merasa sendiri di kamar hotel—terlebih di malam perayaan Natal. Lagipula bersama Andrew berarti juga bersama Aby, dan bayangan akan mereka bertiga membuatnya tersenyum. Setidaknya, Andrew dan Aby bukan orang asing bagi Miyoung.

Akan tetapi Miyoung ingin memilimalisir keterlibatan Andrew dalam konflik kali ini. Posisi Andrew di Shinan belum stabil. Miyoung hanya khawatir, jika Andrew menolongnya, maka akan mempersulit kedudukan Andrew sendiri—dan Miyoung tidak ingin menghancurkan kerja keras Andrew untuk bertahan di posisinya sekarang. Terlebih dia tahu, ayahnya mampu mempengaruhi dewan direksi Shinan untuk memperlemah posisi Andrew.

Sebuah deringan membuat Miyoung berjenggit kaget, namun dia tersenyum ketika melihat display name Andrew. “Hallo,” diantara risaunya, dia sedikit melega.

“Hai, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Andrew dengan nada penuh perhatian. “Ini malam Natal jika kau lupa,” canda Andrew yang dari nadanya terlihat ceria.

Miyoung mengangkat bahunya, meskipun Andrew tidak bisa melihatnya. “Wine dan kelip lampu kota—kurasa.”

Terdengar tawa getir Andrew, “Kau ingin aku dan Aby menemanimu?”

Tawaran ini sangat menggoda Miyoung, namun dengan bodoh Miyoung lagi-lagi menolaknya. “Tidak, Oppa. Kurasa ini adalah malam yang tepat untuk penebusanmu,” canda balik Miyoung.

“Penebusan?”

Hum, aku tahu betapa sibuknya kau dan betapa Aby kekurangan waktu efektif bersama hottiedaddy-nya.”

Andrew tertawa lagi—dan Miyoung dapat membayangkan dua lesung pipit Andrew yang menawan. “So, do you think I’m hot?” goda Andrew.

That’s not the point.”

So, I’m not?”

Gosh, I really hate myself to say it out loud. You’re just like a hot stuff walking around, there.”

Oh, thank you. I’m flattered,” ucap Andrew—yang Miyoung seolah bisa mendengar senyumnya. “Hei, tunggu sebentar, seseorang sangat ingin tidak sabar berbicara denganmu,” lalu terdengar langkah Andrew.

“Hallo…Yong Imo,” suara cadel ini—milik Aby tentunya.

“Hallo, Cantik. Apa yang sedang kau lakukan?”

Eum…kue. Daddy kue Aby membuatnya.”

Miyoung hanya tersenyum. Sejak mengetahui bahwa Aby mengalami disleksia, dia tidak heran lagi ketika mendengar kalimat Aby yang terbolak-balik. “Sepertinya menyenangkan, Sayang.”

Hum,” jawab antusias Aby. “Yong Imoeum…Se…mat…Selamat Na..tan—ah Natal.”

Miyoung terbungkam beberapa saat, hampir-hampir meneteskan air mata. Aby begitu berusaha dengan segala keterbatasannya untuk sekadar mengucapkan selamat natal—dan itu cukup untuk menyentuhnya. Dia dapat mendengar pujian Andrew kepada Aby dari seberang jaringan. “Selamat Natal, Sayang.” Miyoung merasakan juga perubahan sikap Andrew terhadap Aby—tidak sekaku dahulu, karena sekarang keduanya hanya memiliki satu dengan yang lain sebagai keluarga.

“Aku tidak keberatan untuk menelponmu berjam-jam, sekadar untuk menemanimu,” terdengar lagi suara Andrew.

“Oh tidak, Oppa. Kau, Aby, dan kue—itu adalah hal yang terlalu manis untuk dilewatkan.”

Yeah, bahkan dapurku kini penuh dengan tepung dan adonan. Aby terlalu bersemangat untuk mencetak kuenya dengan bentuk bintang.”

Miyoung yakin Andrew tidak keberatan akan hal itu. “Itu sangat menyenangkan.”

Yeah, of course. So, I’m hanging up before my cute muffin messing up with some pans. Merry Christmas, Sweetie—and we love you.” Itu adalah hal terakhir yang dia dengar dari Andrew—yang dia jawab dengan tak kalah manis, sebelum sambungan terputus.

…dan dia sendiri lagi.

Andrew dan Aby sudah menelponnya, namu satu orang yang selama seminggu ini menghantui pikirannya, belum memberikan kabar. Kyuhyun; sejak malam mereka berciuman, dia belum melihat pria itu—dan dia tidak bisa mengelak, bahwa dirinya merindukan sosok manis itu. Kyuhyun yang mencebik, Kyuhyun yang bermata rusa, Kyuhyun yang tawanya mencandukan, Kyuhyun yang hangat.

Pikirannya mau tidak mau mengulang pertanyaan Andre malam itu, “Kau…jatuh hati padanya?” Miyoung menggeleng kepalanya dengan cepat untuk mengusir kegalauan itu.

Tak perlu diragukan betapa seminggu ini selain dia memikirkan hubungan Yongguk-Qianshi, dia juga memikirkan Kyuhyun. Mungkin Kyuhyun sedang membunuh alien di PSP-nya, mungkin dia sedang memarahi mahasiswanya yang selfie di tengah kuliahnya, mungkin juga dia sedang berusaha menciptakan malware untuk mengorup data pemerintah. Seperti halnya Andrew, Miyoung tidak ingin menempatkan Kyuhyun pada kesulitan—jika Miyoung bersikeras menjalin hubungan dengannya.

Di malam Natal seperti ini, mungkin Kyuhyun sedang berpesta merayakannya bersama keluarga—mungkin kerabat dari pihak ayah atau ibu, karena Miyoung tahu Kyuhyun seorang yatim piatu sejak berumur 10 tahun. Boleh jadi Kyuhyun akan menyumbangkan suaranya—yang Miyoung merasa beruntung pernah mendengarkannya sekali, untuk menyanyikan sebuah lagu Natal.

Damn, Miyoung sangat ingin berjumpa dengan Kyuhyun di saat seperti ini. Cukup Kyuhyun—dia tidak meminta lebih untuk Natal ini. Sebentar saja—lima menit, hanya melihat wajah manis Kyuhyun atau jika beruntung, Kyuhyun akan membiarkan Miyoung menggunakan pundaknya, lagi. Jika itu terjadi, dia akan kembali kuat—menghadapi kemelut di Yongguk dan menghadapi ayahnya.

Ketika hatinya sesak, tanpa disadari air mata itu meluluh hingga sebuah ketuk ringan di pintu membuyarkannya. Dengan cepat Miyoung mengusap air matanya—damn, sudah dua kali dia menangis semenjak bertemu Kyuhyun. “Ya, tunggu sebentar,” pekik Miyoung. Dia menebak, tamunya adalah Saeun—mungkin bersama putra-putranya, ini Natal tentu saja.

…dan dia tidak membayangkan…Kyuhyun dengan bando tanduk rusa, hidung badut merah, dua sarung tangan merah, bersorai di pintu hotelnya, “Merry Christmas,” lalu menyanyikan jingle bell dengan gaya konyol—yang menurut Miyoung adalah hal termanis.

Miyoung mencengkeram tepi pintu, takut andai dia kehilangan fokus, Kyuhyun akan lenyap dari hadapnya. Wajahnya masih kaku, masih terlalu terkejut sampai dia tidak sadar Kyuhyun telah selesai menyanyikan lagu icon Natal tersebut.

Saling bertatapan untuk beberapa saat hingga tenggelam dalam pemahaman masing-masing, mereka telah jatuh hati satu dengan yang lain. Namun kata cinta terlalu tabu untuk diucapkan saat ini—disaat situasi keluarga Miyoung sedang runyam, di tengah posisi Miyoung sebagai penerus Yongguk terancam, terlebih di antara hubungan Miyoung dengan Andrew yang belum selesai.  

“Jadi?” Kyuhyun mengigit bibir bawahnya, kemudian mencopot hidung badutnya dengan was-was. Bagaimana jika Miyoung tidak mengharapkan kehadirannya? Bagaimana jika inisiasinya untuk datang ke sini malah memperburuk situasi? Dan diantara kecemasan Kyuhyun, matanya menangkap segaris air mata Miyoung—yang menepis semua gundahnya. “Oh,” lenguhnya sebelum dia menjangkau Miyoung dengan dua langkah panjang. Satu tangannya menyusup pinggang Miyoung, sementara yang lain menangkup pipi Miyoung.

“Kau sangat manis malam ini,” canda Miyoung untuk melumerkan keterkejutannya.

“Aku akan membiarkanmu mengucapkannya dengan puas—setidaknya malam ini,” jawab Kyuhyun. Oh, bagaimana Kyuhyun merindukan wajah ini—mata bulan sabit Miyoung, bibir sensualnya, hidung bangirnya, dan semuanya. Dia bukan tidak ingin menghubungi Miyoung, dia tidak bisa. Semua nomor Miyoung yang dia tahu, terblokir; menjadikannya buntu karena bahkan dengan tekhnologi secanggih apa pun, dia tidak bisa melacak Miyoung. Dia frustrasi, jauh melebihi frustrasinya ketika tidak menemukan logika suatu program. Seminggu ini bagi Kyuhyun adalah terburuk. Lalu dia ingat perkataan Saeun, dan atas bantuan sekretaris Miyoung itu, dia dapat berada di sini. “Kau tahu?”

Hmm?”

“Aku ingin menciummu.”

Miyoung menyungging senyum tipis, lalu membiarkan tangannya menangkup punggung tangan Kyuhyun di pipinya. “Aku ingin dicium olehmu,” lalu semua berlalu cepat, seketika bibirnya bertemu dengan milik Kyuhyun—terasa manis seperti yang dia ingat. Tangannya melepaskan tepi pintu, membiarkan pintu tertutup secara otomatis, lalu melingkari pinggang Kyuhyun.

Kyuhyun sedikit rakus, sedikit brutal mengkonsumsi bibir Miyoung di antara bibirnya. Dia meredam rasa frustrasinya dalam ciuman ini, mengalirkan semua rindu dan kecemasannya untuk Miyoung. Sebelah tangannya mengusap pinggang Miyoung, mulai menghafal lekuk tubuh perempuan ini. Ketika lidahnya menyusup di ceruk hangat rongga mulut Miyoung dan ketika tangannya merabai pinggang-punggung Miyoung, Kyuhyun melupakan segala hal termasuk status yang melekat pada dirinya dan Miyoung—kedudukan dan re-engage Miyoung.

Miyoung, lagi-lagi, membiarkan Kyuhyun mencumbunya—bahkan dia membalasnya dengan serupa. Sesaat sebelum kesadarannya tertepis—ketika Kyuhyun mengeksplorasi rongga mulutnya, Miyoung menetapkan keputusannya. Dia tidak bisa menikahi Andrew—tidak jika hatinya kini tertawan oleh pria ini. Lenguhannya terdengar rendah ketika Kyuhyun menyesap lidahnya—dan hal tipikal lain, jantung yang berdetak tak karuan dan tubuh yang memanas.

Kyuhyun melepaskan ciumannya sesaat, “Aku tidak bisa berhenti,” akunya. Tubuhnya memanas, geloranya memuncak. Tubuh Miyoung yang beradu dengannya terlalu menimbulkan efek, membuatnya ingin memiliki perempuan itu—lagi-lagi, setidaknya malam ini.

“Kalau begitu jangan berhenti,” izin Miyoung seakan menjadi cambuk bagi Kyuhyun.

Untuk kedua kali, Kyuhyun meyatukan bibir mereka, dengan ciuman yang tak kalah panas. Dia menghela tubuh Miyoung ke belakang, menuju ranjang king-sized yang seakan begitu luas, tanpa melepaskan ciumannya. Dengan berhati-hati Kyuhyun membaringkan Miyoung, sebelum semua helai pakaian yang melekat pada keduanya terlucuti.

…dan sebelum kepahitan menimpa keduanya.

***

Miyoung terkikik tanpa suara ketika melihat Kyuhyun yang masih tergulung erat bed-cover seperti kepompong. Dia telah selesai berdandan untuk memulai paginya, namun bahkan Kyuhyun belum bergeming dari posisinya. Mendekat, Miyoung duduk di tepi ranjang. Dia membelai rambut teracak Kyuhyun, merapikan sebisanya. Sungguh Kyuhyun terlihat sangat-sangat menggemaskan seperti ini. Baiklah, mengenai tadi malam, Kyuhyun tidak menggemaskan, melainkan menggairahkan—dan itu membuat pipi Miyoung menghangat.

Mata rusa Kyuhyun yang memejam dan bibirnya yang sedikit mencebik. Apa yang ada di mimpinya, huh? Mencondongkan badan, Miyoung mengecup pundak terbuka Kyuhyun dan pelipisnya, “You’re really cute, you know?” bisiknya.

Di antara semua hari, Miyoung mengutuki mengapa di hari Natal seorang anggota direksi bersikukuh ingin bertemu dengannya. Bahkan Saeun rela meninggalkan keluarganya di hari Natal demi mendampingi Miyoung. Jadi meskipun dengan menggerutu, Miyoung tetap menuruti permintaan si anggota direksi untuk bertemu, karena ini pasti hal penting yang mendesak.

“Jam berapa dia datang?” Miyoung bertanya untuk kedua kalinya kepada Saeun.

“Seharusnya lima belas menit lalu,” ucap Saeun dengan tenang. “Ada beberapa email yang masuk beberapa hari ini, termasuk dari Kyuhyun. Apakah kau ingin memeriksanya?”

Oh, tentu,” Miyoung pikir mengecek email lebih baik untuk membunuh waktu menunggu. Dia menerima tab dari Saeun, lalu memilih membaca email Kyuhyun yang dikirim seminggu lalu dengan header bertuliskan Urgent—yang ditulis dengan huruf kapital. Email itu berisi beberapa dokumen terkait Qianshi—transaksi yang bahkan terjadi sekitar dua puluh tahun silam. Miyoung mengerutkan alisnya, untuk dua puluh tahun silam, dana senilai yang tertera dalam bukti transaksi adalah nominal yang sangat besar. Jika dihitung, bahkan melebihi tender yang selama ini dikerjakan Qianshi untuk Yongguk.

Merasa sesuatu janggal, Miyoung menggamit lengan atas Saeun, “Bisakah kau carikan untukku, kejadian besar yang terjadi di tahun 1993?”

Saeun menurutinya, dan yang muncul di layar tabnya adalah sebuah kecelakaan pesawat komersial Korsel boeing 373. Kecelakaan yang hingga sekarang masih menjadi teka-teki karena pihak Korsel tidak bisa mengevakuasi bangkai pesawat, alasannya: pesawat jatuh di perbatasan Cina-Korut dan klaim pihak Korut yang menembakkan rudal untuk menjatuhkan pesawat tersebut.

“Korbannya…?” tanya ragu Miyoung yang mulai meraba-raba.

“Choi Jumyuk—ayah Andrew dan…” Saeun menelusuri daftar nama korban untuk mencari nama yang penting, “dua orang ilmuwan, suami-istri, Cho Jinsuk dan Cho Gaeun.”

“Cho Jinsuk…Cho…Cho,” Miyoung mengulangnya. Dia familiar dengan nama ini…dia pernah membacanya di—Oh Tuhan, Miyoung mengangkat jemarinya menutupi bibir. “Orang tua Kyuhyun?”

Saeun membuka beberapa catatan dalam agendanya, sebelum mengangguk.

Eonni, aku…” Miyoung mengulum kedua bibirnya, “memiliki firasat buruk untuk hal ini.” Tangannya berkeringat, jantungnya berdetak kencang.

“Selamat siang,” potong seorang pria baya, yang Miyoung kenal sebagai Tuan Lee Byong. “Maafkan aku atas keterlambatan ini.”

Miyoung mengatur ekspresinya, kemudian menyilakan tamunya duduk. Mungkin nanti dia perlu berbicara dengan Kyuhyun mengenai rasa simpatinya.

“Aku tidak ingin berbasa-basi, Nona Hwang,” wajah Byong begitu teggang, “aku adalah beberapa orang yang menentang pelengseran dirimu dari tampuk Yongguk. Grup ini dibangun dengan keringat dan kerja keras, dan aku dapat melihat sikap itu darimu.”

Miyoung tersenyum dan mengangguk hormat untuk menerima pujian.

“Beberapa tahun belakangan, Qianshi mulai pongah; mereka menurunkan kualitas bahan baku yang dikirimkan kepada Yongguk. Akibatnya sedikit demi sedikit terlihat kepercayaan konsumen pada kita menurun. Kita pernah menegur Qianshi, namun mereka tidak mengindahkannya.”

Miyoung mendengarkan dengan cermat.

“Tapi apa yang dilakukan Taejoo, huh? Dia bersikeras mempertahankan Qianshi.”

“Maksud Byong-ssi, Anda mendukungku untuk menolak bekerja sama lagi dengan Qianshi?”

Byong menghela napas pasrah, lalu mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. “Kau tidak ingin tahu, mengapa ayahmu mempertahankan Qianshi?” Sebelum Miyoung sempat menjawab, Byong menganjurkan dokumennya, “jawabannya ada di sini, Miyoung-ssi.

Miyoung menerimanya dengan bingung. “Sungguh…” dia menggeleng bimbang, “…tolong jelaskan maksud semua ini.”

Menepuk paha dengan determinasi, Byong membuka mulut. “Sebuah pesawat komersial boing 373 jatuh di perbatasan Cina-Korut di tahun 1993. Klaim pertama adalah bahwa pihak Korut yang menembakkan rudal untuk menjatuhkan pesawat itu. Klaim kedua adalah bahwa kecelakaan itu sebagai upaya membunuh Choi Jumyuk saat perebutan tahta Shinan. Keduanya tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar.”

“Lalu?”

“Kecelakaan pesawat itu, target utamanya adalah sepasang suami istri Cho Jinsuk dan Cho Gaeun. Keduanya adalah ahli virologi yang berhasil menciptakan virus bernama N-01. Sayangnya virus itu dicuri dari laboratorium, dan diujikan di suatu kawasan di Cina.”

Kepala Miyoung terasa pening. Kyuhyun…

“Apa yang terjadi? Singkat cerita, pemerintah Cina secara rahasia mengisolasi kawasan itu, lalu membumihanguskannya—bersama seluruh penduduk baik yang mati terserang virus atau pun masih hidup.”

“Hubungannya dengan Qianshi dan Yongguk?”

Byong memejamkan matanya, terasa berat untuk mengaku. “Yongguk adalah perusahaan farmasi yang belum stabil saat itu. Adanya virus baru yang belum ditemukan vaksinnya—bahkan ilmuwan Yongguk juga menyerah, akan mengancam stabilitas perusahaan.“

“Aku ingin alasannya dengan jelas, Byong-ssi!” tandas Miyoung.

“Yongguk melalui Qianshi, mendukung segala upaya untuk mengklamufasekan kecelakaan pesawat itu. Qianshi berperan penting untuk bernegosiasi dengan pihak Korut—meminta Korut mengakui bahwa rudalnya lah yang mengenai boeing 373, padahal bukan. Qianshi jugalah yang menghadang upaya evakuasi bangkai pesawat.”

“Keuntungan pihak Korut?” Miyoung membulatkan mulut, tanda bahwa sebuah jawaban terlintas di pikirannya. “Korut bersedia membantu karena virus N-01 merupakan ancaman senjata biologis mematikan bagi mereka. Dan Korut pun khawatir Korsel suatu saat menyelundupkan virus itu ke Korut untuk menginfeksi penduduknya.”

Byong mengangguk, tapi kepala Miyoung masih terasa pening. Kyuhyun…

“Kumohon, pikir dengan matang, Miyoung-ssi.

“Youngie…” Saeun menangkap tubuh melemas Youngie saat berjalan keluar restoran tempatnya bertemu Lee Byong. “Kau butuh tumpangan untuk kembali ke hotel?” tawar Saeun.

Miyoung meletakkan telapak tangannya di pelipis, lalu menggeleng pelan. “Tidak…tidak. Menurutmu eonni, apakah Kyuhyun telah mengetahui hal ini?”

Saeun memegang lengan Miyoung sambil berjalan menuju parkiran. “Sepertinya belum, tapi kurasa hanya masalah waktu hingga dia mengeteahuinya—baik lewat dirimu atau lewat penelusurannya sendiri.”

“Dari kedua pilihan, mana yang menurutmu paling…”

Menggamit lengan Miyoung, Saeun memandangi atasannya tersebut—kali ini sebagai seorang teman. “Tidak ada yang lebih baik, Youngie. Keduanya sama-sama menyakitkan, terlebih penyebab kematian kedua orang tuanya ada sangkut pautnya denganmu—aku akan bilang bahwa, dari bagaimana dia mengkhawatirkanmu, dia…”

Miyoung tidak perlu mendengar lanjutannya saat air matanya sudah bergumul di permukaan bola matanya. Dia menggeleng kecil, lalu menunduk.

“Oh, Youngie…” Saeun memeluk Miyoung ketika menangkap maksud air matanya.

***

Ketika Miyoung kembali ke kamar hotelnya, tepat setelah dia menutup pintu, sebuah tamparan melayang ke pipinya dengan keras hingga dia terjatuh. Miyoung tidak memprotes, melainkan hanya memejamkan mata, membuat air mata merembes dari kelopaknya—dan dia sadar konsekuensi ini.

“Kau benar-benar wanita licik, Hwang Miyoung. Dan aku menyesali segala sesuatu yang terjadi di antara kita,” tangan Kyuhyun terkepal erat di kedua sisi tubuh. Wajahnya memerah, penuh amarah. Dari sekian wanita, mengapa harus wanita ini yang berhubungan dengan penyebab kematian ayah dan ibunya. Sungguh, jika dia tidak mengingat bahwa terhadap wanita ini hatinya terpaut, bisa jadi dia telah hilang akal untuk melukainya lebih. Dengan rahang bergetar, Kyuhyun pergi untuk menghindarkannya dari kemarahan.

***

Perkembangan begitu cepat setelahnya. Rumor bergulir di internet, mengangkat kembali kecelakaan pesawat di tahun 1993. Hubungan Yongguk dan Qianshi ada pada kondisi terburuk—bahkan menuju pemutusan hubungan kerja. Grup Yongguk sendiri dikabarkan mengalami kerugian hebat dan berencana merumahkan beberapa pekerjanya.

…dan dari semuanya, Miyoung, dengan persetujuan direksi, memberikan segala bukti konspirasi Taejoo dengan Qianshi kepada pemerintah. Taejoo ditahan sementara, namun investigasi berjalan tertutup karena ternyata pemerintah pun ikut terlibat. Tampuk tertinggi Yongguk kemudian jatuh pada sepupu Miyoung, Hwang Daehan, sementara Miyoung sendiri tetap menjalankan tugasnya di Yongguk di posisi semula. Semua yang berada di Yongguk kewalahan, semua bekerja keras untuk menjaga kestabilan perusahaan ini agar tidak kolaps.

Akan tetapi di antara kesibukan itu, ini adalah hari yang sangat buruk juga. Semua komputasi di Yongguk lumpuh dengan suatu malware yang bericon baby devil bertuliskan cute devil. Tanpa berpikir keras pun, Miyoung tahu pembuatnya.

Isanim.”

Isanim.”

“Miyoung-ssi.

Pada panggilan ketiga, Miyoung mengangkat kepalanya. “Aku akan menemuinya.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Saeun. “Jika kau datang atas nama Yongguk, maka tidak perlu diragukan, dia akan menendangmu keluar sebelum kau memasuki pintunya. Jika kau datang atas namamu, maka semua ini akan memberatkanmu.”

“Aku tidak tahu hal apa lagi yang bisa kita perbuat. Nyatanya dengan beberapa kali memasuki sistem Yongguk ketika kami masih bekerja sama, Kyuhyun mengetahui semua kelemahan sistem kita. Dan lihat, teknisi kita tidak dapat berbuat apa pun.”

Saeun menghela napas panjang. Dua minggu ini, Miyoung benar-benar berubah cukup drastis—pipi yang menirus, katong mata menghitam, dan stress itu terpancar dari sinar wajahnya. “Yongie,” panggilnya halus, “ingat, jangan terlalu membebani dirimu, hmm?”

Senyum tipis Miyoung adalah senyum ketidakpercayaan diri—dan Saeun bisa melihat keraguan besar di mata Miyoung.

***

Dua kali memencet bel, lalu Miyoung menghadapi Kyuhyun membuka pintu rumah. Dia ingin menjerit, menubrukkan dirinya pada Kyuhyun—seperti dulu, karena pertama kali setelah dua minggu melelahkan, bertemu Kyuhyun membuatnya menarik napas dengan cepat. Kyuhyun terlihat manis dengan sweater putih dan poninya.

“Wow, lihat siapa yang berkunjung?” meskipun kemudian sinisme Kyuhyun menghapus semua imaji Miyoung. Dia ingin mengabaikan kondisi buruk Miyoung dan menyembunyikan nyeri di dadanya serapat mungkin.

“Kyuhyun…”

“Oh tidak,” Kyuhyun menggeleng, menampik suara yang sesungguhnya dia rindukan—dulu. Sekarang? walaupun hatinya masih tergetar dengan panggilan itu, rasa sakit di hatinya jauh lebih besar. “Bahkan jika kau berlutut di sini hingga esok, aku tidak akan mencabut malware itu. Jadi, selamat menikmatinya.”

“Kyuhyun!” Miyoung menggedor pintu yang telah tertutup rapat. “Kumohon, ini bukan hanya masalahmu denganku atau masalahmu dengan Yongguk. Jika kau berbuat seperti ini, banyak karyawan yang akan kena imbasnya.”

“Maka salahkan mereka yang bekerja untuk Yongguk!” teriak Kyuhyun.

“Kumohon, bisakah kita bicara, huh?” Miyoung menyandarkan kepalan tangannya di pintu. Barangkali, Kyuhyun berubah pikiran.

“Bicara?” ujar Kyuhyun masih dengan nada sarkastik. “Lalu kau akan menjebakku untuk bekerja lagi untukmu?” terdengar suara tawa hambar Kyuhyun, “Kau benar-benar jalang!”

Telinga Miyoung memanas ketika mendengar umpatan Kyuhyun untuknya, namun dia tidak bisa membalas atau pun membela diri. “Kyuhyun-ah,” pertama kali dia memanggil Kyuhyun tanpa embel-embel formalitas—sayangnya dalam situasi buruk, “Kau bisa menuntut apa pun kepadaku atau kepada Yongguk, tapi bukan seperti ini caranya.”

Cish, kalau pun aku menuntut, itu semua tidak akan mengembalikan orang tuaku.”

“Dan apakah dengan bersikap seperti ini, kau bisa mengembalikan orang tuamu, huh?” balas Miyoung.

“Setidaknya, aku merasakan pada mereka sedikit kesengsaraan dan rasa tak berdaya—seperti aku dulu.”

Miyoung menggedor pintu dengan tidak cukup keras secara berulang. “Kumohon, Kyuhyun. Jika kau hanya menginginkan demikian, maka lampiaskan padaku—bukan pada orang-orang yang tidak tahu menahu.”

“Kalau begitu, buktikan ucapanmu itu,” setelah mengucapkannya, terdengar langkah Kyuhyun menjauh.  

Miyoung melunglai, kemudian menjatuhkan kedua lututnya di depan pintu rumah Kyuhyun. Pikirannya buntu, usahanya sia-sia, tenaganya terkuras. Dia tidak memiliki pilihan. Jadi inilah hal terakhir yang dia bisa lakukan—berlutut, seperti yang Kyuhyun bilang.

Kyuhyun tahu dan dia abai—mencoba abai. Dia tidak tidur semalaman, memikirkan seseorang di depan pintunya. Ketika dia berdiri, ingin berlari ke depan, suara bisikan untuk balas dendam itu terlalu kencang di telinganya. Lalu dia akan kembali pada tempat duduknya. Lagipula, siapa yang akan berlutut di sana semalaman. Bahkan dalam dua jam, orang itu akan menyerah karena cuaca bulan Desember yang dingin.

Ketika esok paginya Kyuhyun terbangun, dari tertidur di meja, dia berlari keluar. Membuka pintu, dia tidak mendapati Miyoung di sana lagi. Seringai tersungging di bibirnya, “Cish,” desisnya meremehkan.

***

“Oh, Sial!” umpat Kyuhyun dengan lirih ketika dia melihat sosok Andrew yang menantinya di depan ruangannya. Hal terakhir yang ingin dia temui hari ini, setelah mahasiswanya di kelas membuat ulah dengan meledakkan salah satu komputer laboratorium, adalah segala macam urusan Yongguk.

“Terakhir kali kuingat, aku berhutang satu tinjuan padamu,” sapa Kyuhyun tanpa basa-basi.

Andrew membenahi jasnya, lalu menghampiri Kyuhyun yang berdiri beberapa langkah darinya. “Aku tidak ingin minta maaf atas malam itu,” ucap Andrew dengan rahang mengeras, “alih-alih, jika kekerasan dilegalkan di kampus ini, aku ingin meninjumu sekali lagi.”

Cish,” desis Kyuhyun, “seolah aku akan membiarkanmu.” Dia memegang erat buku, laptop, dan tab di dadanya. Meskipun mulut tajamnya mampu menghina balas Andrew, namun dia yakin akan kalah pada pria itu dalam adu otot. Oh ayolah, meski Kyuhyun sering memainkan battle satu lawan satu di game, namun dia tidak pernah berkelahi secara real, ok? Lagipula secara kasat mata, Kyuhyun bisa menilai fisik Andrew.

“Berhentilah bersikap kekanakan,” tekan Andrew yang mempertahankan kekakuan wajahnya. “Kau dan virus yang merusak sistem Yongguk—itu tidak lucu.”

“Dan jika kau kemari, hanya ingin mewakili kekasihmu untuk memohon padaku—maaf aku tidak ada waktu,” tanggap Kyuhyun, yang dia sebetulnya tidak menyukai kata-katanya sendiri.

Andrew mengepal erat kedua tangannya, menjaganya tetap di sisi tubuh, tidak melayang di pipi atau rahang pria di hadapnya. “Dia akan menemuimu sendiri—andai dia bisa.”

Kyuhyun menaikkan kedua ujung dalam alisnya, merasa sedikit bingung. “Ah, jadi dia sibuk bertarung dengan sepupunya untuk berebut tahta Yongguk?” sindir Kyuhyun.

Menggeleng kecil, Andrew bermaksud meremehkan Kyuhyun. “Kau benar-benar tidak mengenal Miyoung.”

Pada hinaan ini, Kyuhyun menggegat gigi-giginya. “Jika kau kemari hanya ingin membual, aku tidak punya waktu untuk meladeni. Selamat siang,” salam sinis Kyuhyun sembari berlalu.

“Jika tersisa sedikit kepedulian di hatimu,” Andrew bergeming di tempatnya, “temui dia dan bicaralah—karena saat ini bahkan untuk membuka mata, Miyoung tidak bisa melakukannya.”

Kyuhyun terhenti, kakinya kaku.

“Benar bahwa Yongguk di bawah kepemimpinan Hwang Taejoo terlibat pada kematian kedua orang tuamu. Namun bahkan dosa itulah yang dia tinggalkan untuk putrinya. Jika kau mau membuka pikiran dan matamu, maka kau akan melihat bagaimana Miyoung berupaya menebus semua kesalahan itu dan meredakan kekacauan ini.”

Kyuhyun merapatkan dekapannya pada barang yang dia bawa. Hatinya terasa diremas—dan dia benci mengakui hal itu karena berita mengenai Miyoung.

“Miyoung hanyalah setitik kebaikan yang terjebak di situasi buruk—jika kau melihatnya dengan hati terbuka, bukan dengan amarah.” Kemudian Andrew pergi, tanpa memedulikan reaksi Kyuhyun. Jika bukan karena tidak sampai hati melihat kondisi Miyoung, dia tidak akan sudi menemui Kyuhyun—yang notabene sebagai rivalnya mendapatkan Miyoung.

…dan meskipun ucapan Andrew mengenai Miyoung menguji kewarasan Kyuhyun, dia tetap pada pendiriannya menjaga bara dendam. Bahkan tiga detik setelah Andrew pergi, dia langsung melacak keberadaan Miyoung, lalu menemukan rumah sakit tempat Miyoung dirawat, namun dia tidak memiliki nyali untuk mendekat. Kyuhyun selalu menggegat gigi-giginya erat, menahan hatinya tetap utuh ketika melihat Miyoung terbaring sakit—yang salah satu penyebab adalah dirinya. Mungkin seperti inilah takdir mempermainkan cintanya, mengolok kepengecutannya, dan mencaci sikapnya.

Awal Januari menjadi gempita bagi sebagian besar orang, kecuali untuk beberapa yang berduka termasuk Miyoung. Dia ingat dirinya hilang kesadaran di depan pintu rumah Kyuhyun waktu itu, lalu ketika membuka mata sudah berada di rumah sakit—dengan Aby yang tersenyum lebar di samping ranjangnya dan berteriak daddy cukup keras. Bagaimana pun Andrew dan Aby adalah hal terbaik yang dia punya saat ini. Akan tetapi dia tidak bisa mengalihkan pikiran dan hatinya dari seseorang bermata rusa, kecuali orang tersebut benar-benar tidak menginginkannya. Jadi di sinilah Miyoung, di bangku taman yang dingin, menanti Kyuhyun.

Miyoung mungkin akan mendapat standing applaus untuk kenekatannya yang kedua kali—menunggu di tengah cuaca dingin. Kalau pun yang ditunggu berjanji akan datang, demikian masih lebih baik. Sementara Miyoung, bahkan niatannya duduk di sini selama hampir 3 jam adalah sekedar melihat Kyuhyun yang biasanya melintasi taman ini ketika pulang dari kampus. Menurutnya, dingin akan mengebaskan inderanya, bahkan mungkin hatinya, apabila nantinya kecewa yang dia dapatkan.

Kyuhyun di seberang, berdiri di samping Ford-nya. Ini kelima kalinya, dia yakin menghitung dengan benar, melihat Miyoung duduk di sana. Setiap kali Miyoung hanya akan diam di sana, tersenyum padanya—walau dia tidak membalas. Kyuhyun selalu tergoda untuk menghampiri perempuan itu, lalu menawarinya menghangatkan diri di rumah—namun tidak pernah terjadi. Jika petang datang, Miyoung akan pergi—dijemput oleh sebuah Audi yang dia tahu adalah mobil keluarga Hwang. Jika keempat kali yang lalu dia selalu mengabaikannya, kali ini dia ingin tahu. Jadi Kyuhyun mengambil langkah lebar untuk mendekatinya.

Senyum tipis, sedikit bumbu getir, menghiasi bibir Miyoung ketika matanya mengikuti gerak Kyuhyun yang telah duduk di sampingnya. Jantungnya berdebar. Bagaimana tidak? Pria yang dia rindukan, yang tidak sengaja tersakiti oleh keluarganya, ada di sisinya.

Memasukkan kedua tangan pada saku jaket, Kyuhyun berkata dengan tenang, “Meskipun kau menyiksa diri di sini hingga membeku sekali pun, tidak akan mampu mengganti kehilanganku atas kedua orang tuaku atau pun mengganti kesengsaraanku tumbuh tanpa orang tua.”

Miyoung melipat kedua bibirnya yang bergetar, “Tentu saja tidak.”

Sengatan, meski dalam intensitas kecil, dapat Kyuhyun rasakan pada hatinya. Miyoung begitu pucat, begitu terlihat menderita, dan begitu terlihat bukan-seperti-Miyoung. Dia diam, mencoba menikmati rasa bisa kembali berdekatan dengan perempuan ini—yang tidak pernah seharipun lewat dari pikirannya.

Menunduk dengan tangan bergetar yang berada di pangkuan, Miyoung membuka mulut, “Kumohon jangan seperti ini. Jika kau membenciku, maka lakukan apa pun padaku yang bisa meringankan rasa bencimu. Jangan melampiaskan pada yang lain, jangan mendiamkanku.”

Kemudian memori tentang bagaimana dia telah berbuat semena-mena terhadap Miyoung—walaupun setiap kali hanyalah amarah yang berkuasa, berkelebat seperti rentet gerbong kereta api yang melaluinya dengan cepat. Selama itu pula, Miyoung hanya menerima, tidak membalas atau membela diri—dan itu membuatnya berpikir mengenai ucapan Andrew. Lalu bagaimana dia bisa melampiaskan kebenciannya pada Miyoung, jika setiap Miyoung terluka, dia pun ikut merasakannya—bahkan berkali lipat.

Saat Kyuhyun menoleh, apa yang dilihatnya adalah hal yang membuat hatinya merasakan nyeri. Pipi pucat itu, yang pernah dia tampar, padahal di malamnya dia mencumbunya sepenuh hati. Sungguh menyaksikan Miyoung menunduk pasrah, lengkap dengan hidung memerah dan tangan bergetar, mencabik hatinya.

Kemudian Kyuhyun bangun dari duduk dengan cepat, berlutut hingga memenjara kedua kaki Miyoung diantara kakinya. Dia menganjurkan tangannya menangkup pipi Miyoung, membuatnya merinding karena begitu dinginnya pipi perempuan ini. Menempelkan bibirnya pada bibir dingin Miyoung, dia menyesap sendu sendan Miyoung. Dia tidak ingin mengucap kata maaf—tidak untuk saat ini, namun dia tidak ingin memungkiri bahwa ada penyesalan di lubuk hatinya. Jadi Kyuhyun membiarkan bibirnya menyatu dengan Miyoung untuk beberapa saat. Ketika pipinya menghangat dan basah, dia yakin telah mengambil keputusan dengan benar.

Apa yang telah mati, sudah sepantasnya mati. Penyesalan adalah apa yang masih hidup, namun mati hati dan pikirannya.

Kyuhyun menangkup kedua tangan Miyoung yang begetar, lalu menggosoknya untuk menghangatkannya. Hati dan perasaannya untuk perempuan ini masih sama, menggebu-gebu seperti dulu. Kata aku merindukanmu tertuang lewat setiap kecupannya di jemari Miyoung. Kata aku menyesal tertuang lewat kecupannya di kedua pipi Miyoung.

Membalik badan, Kyuhyun menyodorkan pundaknya pada Miyoung. Dia meletakkan kedua tangan Miyoung melaui bahunya, lalu melingkarkan kedua tangannya melalui belakang lutut Miyoung. Berdiri, Kyuhyun menggendong Miyoung di punggungnya.

Miyoung menyeludukkan pipinya yang dingin ke pundak Kyuhyun untuk mendapat kehangatan. Hatinya meleleh, seperti coklat yang tersinari matahari—bahasa klisenya. Matanya memanas—dan dia tidak menahan atau pun menghentikan luluhan air matanya.

Sore ini bagi Kyuhyun adalah suatu permulaan. Dia melambatkan ayunan langkahnya, tanpa merasa terbebani dengan bobot Miyoung. Jujur, dia menyukai kehangatan yang melingkupi punggungnya. Pria baya di bangku taman itu, Yungjong, teman yang dia sapa setiap pagi atau sore saat berpapasan, kali ini Kyuhyun ingin mengabaikannya. Dia tidak ingin memedulikan Yungjong dan anjingnya, anak perempuan yang bermain ayunan, wanita sepantarnya penghuni apartemen di bawahnya yang berlari—dia tidak memedulikannya saat ini. Pundaknya yang memberat dan terasa basah adalah fokusnya kali ini, meskipun dia tidak bisa melihat dengan matanya, melainkan merasakan.

Miyoung-ah, bertahanlah dengan sikapku. Aku tidak bisa menerimamu dengan tangan terbuka dan melupakan masa lalu. Tapi, aku tidak akan memungkiri bahwa kau…adalah bagian berarti dalam hidupku. Jadi kumohon, jangan menyerah terhadapku.

Kyuhyun-ah, kumohon jangan membenciku karena…aku…jatuh hati padamu. Hiduplah dengan baik—bahagia, meskipun dengan segala bebanmu.

Aku akan hidup lebih baik…denganmu.

END*

 

Note: Ini sebenarnya adalah cerita Miyoung-Kyuhyun dalam The Pretension. Bacause Kyukyu is just too cute.

58 thoughts on “Upheaval

  1. Baru baca ini tp belum baca yg the pretentionnya hehe
    Huaaaa kecee banget ceritanya kak, serius deh. Bahasanya juga berat, bikin aku kadang ngulang baca buat ngerti maksudnya hehe
    Ah kenapa kyu selalu bikin baper :c

  2. kyukyukyuniw says:

    Ya ampun,
    Kemaraha kyuhyun yg tersakiti karna orangtuanya meninggal itu wajar. Tapi dia sampai mengabaikan perempuan yg dia kasihi juga itu wajar menurutku yah.
    Tapi saling mengasihi akan mengalahkan kemarahan itu.
    Dan kyuhyun ya ampun kau itu memang cute dan menggairahkannnnnn. Aku mau kamuuuuuu.

    Ffnya keren ka. Aku harus fokus bacanya ya ampunnnnnnn.

  3. Faiik says:

    hay thor aku readers baru dan ini ff pertama yg aku baca 🙂 aku suka kata”nya yang entah bisa buat aku senyum getir, sifat kyuhyun disini aku suka 🙂

  4. udah lama ga mampir ke blog ini..
    setelah bergelut dengan kesibukan 😀
    kangen baca ff dr blog ini…
    pas buka blognya tertarik baca upheaval..
    ceritanya kereeeen..
    suka sama karakternya kyuhyuuuun disinii..
    keep writing unnie-ya 🙂

  5. nurwiniaprilia says:

    wah oneshoot yang panjang ini , suka suka !! Kyuhyun pasti tidak bisa melupakan penyebab kematian orang tuanya, tp minyoung bisa memberikan kenangan kenangan indah yg baru untuk kyuhyun ^^

  6. elya zuna says:

    amarah yang menguasai karena hilangnya orang-orang di masa lalu menggelapkannya,
    bahkan mengabaikan kepedulian akan wanita yang teramat berharga di hidupnya.
    meski demikian, lega rasanya saat Kyu mulai tersadar bahwa mengabaikan sosok itu sama saja dengan menyakiti dirinya.
    bagus bgt kak, meski tidak terlalu menggebu tapi kisah mereka teramat manis untuk dilewatkan 🙂

  7. ayukimkyu says:

    Uwaaaaaaaaaaa lovely ❤ Sebenernya aku belum baca The Pretension, baru baca postingan awal casts nya aja heuheuheu but I cant help not to read this fic, Kyuhyun X Miyoung huhu so lovely T^T Complicated but I always love your fics and the conclusion of every story you made 🙂 And yeah because Kyu is too cute kebayang banget pas dia jadi Kyudolph, I love this story so muchey 👍

  8. ini cerita kyuhyun-miyoung.
    klo dr ceritany agak jauh dr the pretension yg part terakhir d publis.
    yg aku tunggu2 dr the pretension itu interaksi aby dan andrew.

  9. nn says:

    Akhirnya setelah setahun menunggu ada ff yang keluar juga.

    Bayangin kyu nampar wanita #tetep ga kebayang.
    Setidaknya mereka saling jujur sama perasaan mereka sudah cukup bagi saya.

  10. aduuuhhhh….
    aku rindu tulisanmu..

    dan ini cukup mengobatinya..

    cinta memang trkdng meluluh lantahkan sglanya, bahkan dendam..
    dan bersyukur bhwa kyu msh mnggunakan prsaannya, jika tidak, ntah lah.. mungkin youngie akan mati dgn rasa brslah..

Leave a reply to setia Cancel reply