Behind Those Beautiful Eyes [16]


BTBE 16

Behind Those Beautiful Eyes [16]

Arsvio | Tiffany Hwang Miyoung, Cho Kyuhyun, Choi Siwon | PG-16 | Hope is A Dream, Cho Kyuhyun

Hope

 

Aku mengatupkan kedua tanganku di depan dada, tubuhku menghadap suatu penanda. Sembari mataku terpejam, pikiranku terus menerus mensugesti diriku sendiri bahwa aku telah sepenuhnya kehilangan calon bayiku. Aku perlu meyakinkan diriku, setiap waktu bahkan setiap menit di beberapa hari belakangan, agar tidak menyerah dengan bujuk kesesatan untuk menguapkan kesadaranku dan memilih bayang-bayang semu yang lebih indah. Kenyataan ini teramat pahit, namun aku harus bertahan untuk menelannya.

Dia belum bernama, dan tidak bernama. Akan tetapi aku lebih leluasa memanggilnya, tinggal kupilih deret panggilan manis. Sayang, terima kasih telah menyempatkan hadir dalam hariku. Tanpa memilih, tanpa menolak. Sayang, maafkanku yang lalai melindungimu. Dan Sayang, ibu mencintaimu, tanpa sempat melihat, tanpa sempat mendengar.

Aku menurunkan tanganku, lalu membuka mataku saat merasakan remasan di pundakku. Kardigan bewarna peach milikku disampirkan ke pundakku, menghangatkanku dari angin luar yang sedikit dingin.

“Kapan pun kau siap,” Kyuhyun berujar, “kutunggu di dalam.”

“Berikan aku beberapa menit,” tanggapku lirih tanpa nada pemberontakkan.

Kyuhyun mendekapku dari samping hingga pundakku beradu dengan dadanya. Tangannya mengusap lenganku dan napasnya yang terembus pendek menerpa sisi leherku. Dari keteganggan tubuhnya, ada keraguan yang ingin dia utarakan, dan aku menunggunya. Kepalanya menunduk rendah, seakan sedang mengumpulkan dorongan untuk mengucapkan kata-kata di ujung lidahnya. Namun setelah cukup lama berdiam, dia hanya berucap, “Tidak perlu terburu, aku memiliki hari ini untukmu.”

Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Mungkin karena aku tidak dapat dipercaya sehingga Kyuhyun memilih tidak memperdengarkan kegusarannya. Jikalau pun aku ada di posisinya, maka akan kulakukan hal serupa. Bagaimana mungkin kita membagi keresahan hati dengan orang yang hampir gila? Yang notabenenya di sini, orang tersebut adalah aku.

Sepeninggal Kyuhyun, aku mengamati kembali penanda di tanah tempat calon bayiku dikubur. Hanya sebuah batu marmer berukuran tidak lebih lebar dari 30 cm, yang oleh Kyuhyun ditorehkan goresan ‘our beloved’ di permukaannya; dan aku tidak bisa lebih berterima kasih atas torehan itu.  Aku memejamkan mataku kembali barang sejenak, bersamaan dengan angin dingin yang menerpa pipiku, kubayangkan sebuah kecupan mendarat di sana.

Membuka mata, aku meresume kunjunganku hari ini dengan ucapan lirih, “See you again,” sebelum mengikuti Kyuhyun untuk masuk ke dalam rumah dimana dia telah menunggu.

#

“Shim Changmin memberitahukanku mengenai latar belakang Victoria dan,” Aku mengigit bibirku, “aku terkejut dengan penuturannya.”

“Hal itu membuatmu mengambil senjata api milik Shim Changmin?”

“Aku merasa terancam,” jemariku saling meremas hingga keringat bisa kurasakan melembabkan kulitku.

“Kau terancam sehingga mengambil senjata itu untuk melindungi diri?”

“Ya,” aku mengangguk, tapi sedikit meragu.

“Tetapi kau dengan sadar mencapai ruang inap Choi Siwon, kemudian memergoki Victoria Song keluar dari sana dan berniat menghentikannya dengan senjata di tanganmu?”

“Aku mendengar teriakkan Jessie.”

“Teriakan temanmu yang bekerja sebagai dokter di Assan, Jessica Jung, membuatmu kalap?”

“Dia menodongkan pisaunya ke arahku.”

“Karena alasan itu, kau mengangkat pistol di tanganmu, Ny. Cho? Dengan kata lain, kau sedikit banyak mengetahui cara menggunakan senjata ini, dan sejak awal berniat menggunakannya?”

Aku mengeraskan katupan rahangku ketika pertanyaan penyidik menyudutkanku. Biar pun pikiranku masih dibayangi kesemuan karena kehilangan calon bayiku, namun aku cukup sadar mengenai konten pertanyaan yang mereka ajukan.

Bahwa ternyata wanita itu tidak mati adalah hal yang mengejutkan bagiku. Aku bahkan tidak ingat peluruku luput dari jantungnya. Naluriahku atau kesengajaanku, aku pun tidak dapat membedakan. Pengacaraku, yang sebelumnya telah memperdengarkan kesaksian Max, mengatakan bahwa ketika aku tertusuk, arah tembakkanku melenceng.

“Ny. Cho?”

Aku terkesiap kecil ketika penyidik, yang namanya tertera di badge seragamnya, memanggilku. “Maaf,” ucapku karena melamun, “bisa Anda ulangi pertanyaannya?” Aku tahu dia hanya ingin menggali kebenaran apakah aku sengaja melukai Victoria Song atau tidak. Bukan aku tidak bisa menelaah pertanyaannya, namun aku kesulitan untuk menemukan jawaban. Aku ingin menjawab bahwa aksi tembakku hanya reaksi spontan untuk membela diri, tetapi di sudut kenanganku saat itu aku merasakan amarah untuk membalas perlakuan Victoria dengan sadar.

Kim Jaemin, penyidik ini, menghela napas panjang dan menatap pengacaraku yang duduk di sebelahku. Mungkin dia meminta penjelasan atau izin meneruskan penyidikkan, karena aku mengulang permintaan yang sama untuk entah-kesekian kali.

“Kami minta istirahat,” sela Han Minwoo, pengacaraku.

“Sepuluh menit,” jawab Jaemin tanpa berpikir panjang, kemudian meninggalkan kami untuk memberikan privasi.

“Sementara aku berbicara dengan suamimu, gunakan waktu untuk merilekskan diri, Youngie.” Minwoo Ahjussi, pengacara keluargaku yang usianya sepantar ayahku, menyentuh lengan bawahku yang menegang. Diantara kolega ayah, Han Minwoo termasuk lingkar sahabat terdekat. Beliau jugalah yang melakukan pendampingan terhadap kasus ayahku saat ini, bersama dua pengacara rekannya yang tidak kutahu.

Aku mengangguk, namun kepalaku mengikuti gerak Minwoo Ahjussi yang berjalan menghampiri Kyuhyun yang berada di luar ruangan. Dari pintu yang tidak tertutup, aku dapat mengamati keduanya yang berada di ujung koridor sedang bertukar cakap.

Ekspresi Kyuhyun mengeras dengan alis teradu dan mata menajam. Ini kedua kali dia mendampingiku dalam proses penyidikkan. Berbeda dengan dulu dimana dia berusaha mencapai dan menenangkanku, kali ini Kyuhyun seakan menjaga jarak. Mimik wajahnya yang sedari kami tiba di kepolisian tidak melumer barang sejenak menularkan ketegangan padaku.

Aku ingin menjangkaunya, lalu menanyakan alasan dibalik kekerasan ekspresinya, namun jarak yang dia jaga diantara kami membungkamku. Mungkin dia tidak rela sepupunya terluka olehku. Mungkin juga dia kecewa dengan proses penyidikkanku yang berjalan lambat karena aku tidak kooperatif. Sungguh aku ingin proses ini berjalan cepat, tetapi pikiranku yang melanglang buana terlalu sulit untuk kukendalikan.

Kyuhyun mensedekapkan kedua tangannya di depan dada dan terlihat beradu argumen dengan Minwoo Ahjussi. Saat gestur tangannya menunjukku dan pandangannya terangkat hingga bertemu denganku, dia mengejur beberapa saat sebelum menunjukkan sengir tipis kegetiran.

Bibirku tidak tergerak sama sekali, hanya kepalaku yang kemudian melengos ke arah lain untuk menghindari tatapan Kyuhyun. Pandangan yang kuartikan sebagai kekecewaan sekaligus kegelisahan; yang semua itu diakibatkan olehku.

Aku menegakkan punggungku ketika Jaemin-ssi kembali mengambil duduk di depanku, bersamaan dengan Minwoo Ahjussi yang tiba di sampingku lagi. Kucoba mengumpulkan kewarasan dan ketenanganku lagi supaya tidak mengulang kesalahan sama.

“Jaemin-ssi, aku mengajukan penundaan untuk pemeriksaan klienku sebagai saksi.”

Aku ingin membantah agar hal tersebut tidaklah perlu, namun kemantapan di mata Minwoo Ahjussi menahanku untuk diam.

“Kondisi psikologisnya masih tidak stabil untuk dimintai keterangan. Jika penyidikkan ini diteruskan, aku yakin hanya akan berakhir sia-sia.”

Jaemin-ssi memerhatikanku lekat untuk beberapa saat, sebelum mengangguk. “Aku akan menjadwalkan ulang pemeriksaan ini. Silakan ikuti aku untuk mengisi form penangguhan.” Dia berdiri dan mempersilakan Minwoo Ahjussi untuk mengikutinya.

Lagi-lagi aku sendiri dengan jemari yang saling meremas karena gelisah. Mengecek waktu dari arlojiku, aku cukup terkejut karena ternyata pemeriksaanku hampir berjalan lebih dari dua setengah jam. Tidak heran mengapa Minwoo Ahjussi memutuskan untuk menghentikan saja proses pemeriksaan ini.

“Kita pulang?”

Aku mendongakkan kepalaku ketika suara Kyuhyun terdengar dari belakangku. Menimbang sejenak, aku kemudian menggeleng. “Bisakah kita ke Assan?” Selain ingin menjenguk keadaan kakakku, aku ingin memastikan kondisi Jessie.

Kyuhyun berlutut di sisi kursiku, memandangku dengan gamang. “Tidakkah lebih baik jika kau beristirahat dulu?” tanya Kyuhyun, yang menurutku lebih terdengar sebagai penolakkan daripada penawaran.

Aku meremas ujung gaun biru yang kupakai. Bukan aku ingin menentang Kyuhyun mentah-mentah, namun aku memikirkan pertimbangan yang mungkin Kyuhyun pikirkan. Saat ini aku sedang menghindari apa pun yang dapat menjadikan suasana menjadi memburuk karena ulahku.

“Young,” jemari Kyuhyun menyelip di bawah daguku, kemudian mengangkat wajahku untuk bersemuka dengannya. “Kau ingin melihat keadaan Siwon-ie Hyung?”

Mengamati kekhawatiran di mata Kyuhyun, aku menarik bibirku datar. “Aku bisa menemuinya lain kali, kan?” pernyataanku malah menjadi tanya yang mengambang. Menunduk kembali, aku mendesahkan napas. Sekuat-kuatnya keinginanku untuk melihat kondisi kakakku, aku terbentur pada keterbatasan kondisiku. “Tentu saja, aku bisa menanyakan kondisi oppa padamu.” Tidak ada padaku niatan untuk menyindir hubungan mereka.

“Ayo,” Kyuhyun menjangkau jemariku, lalu menyentakkannya ringan agar aku berdiri, “kita mampir ke Assan, sebelum pulang.”

“Hyunnie,” Aku menahan tarikan Kyuhyun, “kita tidak perlu melakukannya. Kurasa kau benar, aku—“

“Beberapa menit menjenguk Siwon Hyung tidak akan masalah,” Kyuhyun melingkarkan tangannya di pinggangku. “Boleh jadi kehadiranmu memberikan energi positif untuknya,” dia menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga, “selain itu seminggu ini kau belum bertemu eomonim. Pagi ini eomonim menelpon, agaknya beliau merindumu.”

Tanganku terangkat untuk menengger di dada Kyuhyun, sekadar gestur rasa terima kasihku. Aku menarik senyum tipis, lalu membiarkan Kyuhyun membimbingku keluar dari kantor kepolisian seperti saat datang kemari tadi.

#

Aku menguatkan hatiku saat kami tiba di depan ruang inap kakakku. Sepanjang perjalanan, Kyuhyun menceritakan kondisi kakakku menggunakan bahasa awam dengan hati-hati agar aku mengerti. Hal yang kutangkap adalah bahwa Siwon masih dalam kondisi vegetative[1], yang satu diantara keberuntungannya adalah Victoria belum sempat membahayakan kondisinya.

Kyuhyun juga menuturkan kronologi kejadian ketika aku dan sepupunya beradu senjata. Tentunya berdasarkan kesaksian dari beberapa orang; Max, Jessie, mungkin juga rekan medisnya. Aku memang berada di tempat kejadian, namun apa yang kutahu hanyalah terbatas pada apa yang kualami. Keadaan kakakku dan Jessie yang berada di dalam kamar, juga mengenai kejadian yang menimpa mereka sebelum aku tiba, aku tidak mengetahuinya.

Aku berusaha untuk membuka pendengaran dan pikiranku ketika Kyuhyun menceritakan kejadian demi kejadian. Victoria, wanita yang aku lebih memilih mengalamatkan padanya jalang, dia berniat memasukkan sianida[2] ke dalam infus Siwon, tetapi Jessie memergokinya. Spontanitas karena tersudut, Victoria kemudian melukai Jessie dengan pisau bedah yang dibawanya. Lagi-lagi keberuntungan masih berpihak, pisau itu hanya melukai lengan Jessie.

Jessie bukan dokter yang menangani kakakku, bidang keahliannya tidak dalam ranah penanganan kasus Siwon. Akan tetapi dia secara rutin mengamati perkembangan kesehatan Siwon, yang aku kira semata karena Siwon adalah kakakku. Dia selalu peduli padaku dengan caranya.

Aku pasif ketika Kyuhyun bercerita, namun dadaku bergemuruh marah. Seiring kepalanku yang mengerat rasa-rasanya aku ingin melumat jalang itu bersamanya. Bibirku terkatup rapat, mengamati ekspresi sedih dan kecewa milik Kyuhyun. Tidak, kesedihan itu bukan hanya tertuju untukku atau kakakku, melainkan juga untuk sepupunya. Aku tidak tahu kedekatannya dengan jalang itu, tapi mimiknya mengatakan mereka cukup akrab. Mungkin dia menyesali kami yang saling melukai satu dengan yang lain; dan aku tidak menyalahkan Kyuhyun untuk hal ini.

“Youngie?”

Aku menghentikan rentet pemikiranku ketika pintu terbuka dan tampak wajah lesu eomma.

Ibuku bangun dari duduknya, di samping ranjang Siwon, lalu menghampiri dan memelukku. Melepas pelukannya, beliau mengusap pipiku dan menangkupnya. “Bagaimana proses penyidikannya?” tanyanya dengan raut khawatir. Masalah-masalah yang menimpa keluarga ini membuat aura wajahnya memudar. Eomma tidak tampak seperti harian, anggun dan memesona, melainkan kuyu dan lesu.

Aku diam sementara waktu, memikirkan kalimat yang ingin kuutarakan agar tidak menambah beban pikiran ibuku.

“Karena suatu hal, penyelidikkan Miyoung dijadwalkan ulang, Eomonim,” Kyuhyun angkat bicara. “Jangan khawatir, Eomonim,” sambung Kyuhyun dengan cepat saat eomma ingin mempertanyakan alasannya, “Miyoung telah menyelesaikan separuh lebih materi penyidikan. Dia hanya memerlukan istirahat, tidak perlu terfosir dalam sekali waktu.”

Ekspresi kejur eomma sedikit mengurai. “Seharusnya kalian lasung pulang.”

“Aku ingin melihat keadaan oppa,” jawabku apa adanya. Aku ingin menambahkan bahwa rasanya sudah lama aku tidak menemui Siwon dan aku sedikit merindu sosoknya. Tetapi hal demikian tentulah terdengar lucu karena hubungan kami tidaklah demikian intim untuk dikatakan saling merindu.

Eomma menoleh ke belakang, ke arah kakakku yang terbaring, sebelum menganjurkan tangannya untuk mengusap lengan atasku. Beliau mengulum bibir atas dan bawah, sebelum berkata, “Kutinggalkan kalian.” Seakan beliau tahu apa yang kami butuhkan; privasi.

Kyuhyun membimbingku duduk di tempat yang ibuku tempati sebelum kami datang, sementara dirinya memutari ranjang untuk mencapai sisi lain. Dia mengamati layar beberapa peralatan di samping ranjang Siwon, kemudian mengecek tetes infus dan arlojinya, sepertinya hanya memastikan kecepatan dari infus tersebut. “Aku akan kembali nanti. Kuharap beberapa menit cukup,” ujar Kyuhyun yang ingin meninggalkanku.

“Tidak,” tolakku, “tinggalah, aku ingin berbicara dengan kalian.”

Mata Kyuhyun menatapku dengan ragu, sebelum dia memutar tubuhnya dan menyaku kedua tangannya di saku celana kainnya. Pinggangnya menyandar di tepi ranjang hingga punggungnya-lah yang menghadapku.

Aku tersenyum kecil untuk mengapresiasi sikap Kyuhyun, meski dia tidak tahu. Mengambil jemari Siwon, aku merasakan tekstur kulitnya yang kering. Kubawa telapak tangannya menangkupi pipiku. Baru kali ini, seingatku, aku dapat merasakan kulit tangannya dengan intim. Pergelangan tangannya yang bertulang besar terlihat kokoh, sedangkan telapak tangannya yang lebar terasa mengayomi. “Annyeonghaseyo, Oppa,” sapaku.

Dalam pandanganku, Siwon seakan hanya tidur dengan tenang. Walaupun aku baru beberapa kali melihatnya dalam kondisi tidur, yang bahkan sudah kulupa seperti apa rupanya, namun saat ini wajahnya terlihat damai; a sleeping prince daripada a dying prince. “Kau tertidur seakan ingin mengabaikan kami,” cemoohku diseling senyum kecil.

Aku menghirup napas panjang dengan halus hingga pundakku mencekung. “Gomawoyo,” ucapku menatap Siwon, “untuk kalian berdua,” lanjutku melirik pundak Kyuhyun. “Aku tidak akan berkata bahwa aku sama sekali tidak mengetahui motif kalian, tapi apa pun itu, aku berterima kasih.”

Kepala Kyuhyun tertoleh ke samping hingga aku bisa melihat pipinya, “Motif?”

Tersenyum getir, aku menjawab, “Pernikahan ini.”

Punggung Kyuhyun menegak, tersentak dengan tidak kentara. Dia menolehkan kembali wajahnya ke muka. “Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini.”

“Kurasa sebaliknya,” sanggahku, “seperti katamu, kedatanganku kuharap bisa memberikan energi positif baginya.”

“Dengan menyinggung masalah esensial ini?”

“Karena mungkin dia menunggu,” aku melarikan jemariku di dagu Siwon yang agaknya baru tercukur cambangnya, “menunggu salah satu dari kita untuk memulai.”

“Memulai untuk membicarakan hal ini?” sambung dan tanya Kyuhyun, “tidak dalam—“

“Memulai untuk memutuskan arah hubungan diantara kita bertiga,” potongku.

Ne?” sentak Kyuhyun, lagi-lagi tanpa memutar tubuhnya menghadapku.

“Melalui pernikahan ini, apakah yang kalian cari adalah suaka?” tanyaku sekedar untuk meyakinkan konklusiku terhadap motif mereka. Boleh jadi kakakku dan Kyuhyun menjadikan pernikahanku sebagai tudung hubungan tabo mereka. Demikian adalah satu-satunya alasan logis yang kupikirkan.

Kyuhyun bersedekap, lalu mendongakkan kepalanya, terlihat berpikir atau mengamini ucapanku.

“Karena itulah yang kucari,” jika Kyuhyun tidak ingin mengaku, maka akulah yang akan mulai mengaku. “Suatu suaka dari keluargaku sendiri; abeoji yang kupikir adalah orang asing, eomma yang kupikir membunuh appa kandungku, dan oppa yang kupikir membenciku setengah mati.”

Aku menunduk dan menurunkan tangan kakakku dari pipiku, “Entah beruntung atau tidak, namun aku lebih menyukai untuk menyebutnya sebagai keberuntungan. Bahwa abeoji adalah ayah kandungku, bahwa eomma tidak membunuh appa-ku, bahwa oppa tidak membenciku.”

“Bukankah kau dapat melega sekarang?”

“Ya, aku melega,” jawabku, “sedikit.”

Kyuhyun menoleh kembali, kulit keningnya terlihat mengerut, “Mengapa? Karena Siwon-ie Hyung belum sadarkan diri?”

“Salah satunya.”

“Yang lainnya?”

“Bahwa akulah yang membunuh appa,” akuku pada beban kenangan masa laluku. “Meskipun itu terjadi saat aku dibawah umur dan dengan alasan pembelaan, yang kemudian alasan tersebut membebaskanku dari hukuman, aku tetap tidak merasa senang.” Bayangan tanganku dipenuhi darah orang yang kubunuh, rasa-rasanya darah itu melekat sepanjang hidupku seperti dosa yang tak tertebus. Perasaan lapang akan kebebasan dari bengisnya appa tidak pernah menyambangiku. Sesak itu tetap menyumbat dadaku, selain rasa bersalah, juga rasa jijik pada tubuhku sendiri. Mungkin aku lebih rela jika appa tetap hidup, tetapi tetap terperangkap dalam dunia kelamnya. Mungkin aku bisa tersenyum melecehkan nasib sialnya.

“Kau menebusnya dengan kenangan yang akan terbawa selama hidupmu, yang kutahu menjadi momok bagimu hingga saat ini,” komentar Kyuhyun.

Aku mengembus napas panjang, menyalurkan warna kegetiranku bersamanya. “Sebuah kehidupan, betapa pun kita membencinya, mereka memiliki hak yang sama dengan kita untuk hidup.” Anganku kembali pada calon bayiku yang telah tiada, “Seperti calon bayiku, yang sekalipun kau membencinya, tidak lantas membenarkanmu untuk menggugurkannya.”

“Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku membencinya.”

“Namun juga tidak mengatakan menyukainya,” tangkisku, “aku tahu, kau hanya tidak menginginkannya.”

“Sudah pernah kukatakan alasannya,” bela Kyuhyun, “dan kau terlalu jauh membuat analogi. Calon bayi kita, dia sama sekali tidak bersalah, sementara appa-mu telah berbuat melampaui batas. Karenanya dia berhak mendapatkan ganjarannya.” Entah sadar atau tidak ketika Kyuhyun menyebutkan ‘bayi kita’, tapi aku menghargai ketulusannya.

“Jika demikian, maka berlaku juga untuk Victoria,” tangkasku.

Ne?” kali ini Kyuhyun membalik badannya hingga menghadapku.

“Dia berbuat melampaui batas, dan karenanya berhak mendapatkan ganjaran dariku maupun hukum yang berlaku.”

Mimik wajah Kyuhyun mengejur seketika, seolah menyangkal pendapatku. “Setiap perbuatan memiliki motif. Jika bukan karena Siwon, maka Vic tidak akan berbuat sejauh ini,” geram Kyuhyun. Berdasar reaksi keras Kyuhyun, aku menjadi paham jenis hubungan saudara sepupu ini.

“Aku sependapat, jika kesalahan tidak hanya terletak pada Victoria. Namun demikian, tindakan kriminalnya bukan sesuatu yang dapat dibenarkan karena alasan sakit hati. Walaupun sebenarnya aku ingin membalas serupa tindakannya terhadap calon bayiku.” Aku lagi-lagi masih bertahan dengan menyebutnya ‘bayiku’, karena panggilan tersebut lebih mengena.

“Berhenti mengakuinya hanya sebagai milikmu,” Kyuhyun mulai menaikkan nada bicaranya. “Vic hanyalah wanita yang hatinya telah hancur karena ulah Siwon. Mungkin hubungan itu adalah satu-satunya harapan baginya, yang sayangnya mati sebelum sempat berkembang.”

“Dan begitu juga denganku,” aku menatap Kyuhyun dengan tajam, “wanita yang hatinya hancur itu membunuh harapanku satu-satunya.” Memperdengarkan pembelaan Kyuhyun, irama napasku mulai tidak teratur. “Jika kau ingin tahu apakah aku menyesal telah saling melukai dengan wanita itu, maka kujawab dengan tegas,” aku menguatkan hatiku, “tidak sama sekali.”

“Kau sakit,” geram lirih Kyuhyun yang masih bisa kutangkap.

Aku merasakan permukaan bola mataku memanas, oleh ucapan Kyuhyun maupun duka kehilangan calon bayiku. “Mungkin seperti itu,” aku menggerat gigi-gigiku, “karena bahkan saat ini dalam pikiranku masih menginginkannya mati.”

“Kau benar-benar gila,” Kyuhyun menggeleng-gelengkan kepala. “Begitu besarkah rasa bencimu? Hingga logikamu mati karenanya?” tantangnya. “Kau sama sekali tidak mengenal Victoria. Jadi tutup mulutmu.”

“Aku tidak perlu mengenal wanita yang telah melukai keluargaku.”

“Hentikan, Young!” Kyuhyun mengepal kedua tangannya di masing-masing sisi tubuh. Dia terlihat sekali menahan amarah. “Pembicaraan ini hanya akan berakhir sebagai omong kosong.” Menatapku tajam, wajah Kyuhyun memerah dengan samar; karena emosi tentunya. Dia berjalan dengan mengentakkan kakinya cukup keras untuk menunjukkan kekesalannya. Membanting pintu, Kyuhyun keluar ruangan.

Aku melenguh kecil hingga air mata di sudut mataku mengalir turun. Inilah yang kutakutkan, bahwa akhirnya hubungan persaudaraan terbawa dalam kasus ini. Menilai reaksi Kyuhyun, agaknya Victoria adalah saudara sekaligus sahabat terdekatnya; apalah yang mereka sebut.

Meremas jemari Siwon, aku kemudian bangun dari duduk dan mencondongkan tubuhku. Bibirku mengecup keningnya yang terbalut kasa putih. Oppa, mulai saat ini hingga nanti kau tidak lagi membutuhkanku, aku akan melindungimu, seperti apa yang selama ini kau lakukan padaku. Sekeras apa pun kau menolakku nantinya, aku akan tetap mendukungmu. Meski setiap orang memusuhimu, aku akan tetap menjadi aliansimu.

Menegakkan tubuhku, aku mengamati diri Siwon yang bergeming. “Karena kau adalah keluargaku.”

#

Pandanganku masih melekat pada kepulan asap tipis dari cappuccino yang kupesan. Aku bahkan tidak ingin meminumnya sekadar untuk menghangatkan tenggorokkanku. Memesannya, agar aku mendapat izin untuk duduk di cafetaria ini.

“Wanita itu—“

“Aku tidak ingin mendengar mengenainya.”

Jessie memutar mata jengah, lalu menyerutup coklat panas miliknya. Dia meletakkan cangkirnya, kemudian memandangku lagi. “Dia keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu. Tembakkanmu meleset dari organ vitalnya—“

“Kubilang aku tidak—“

“Diam dan dengarkan aku!” sentak Jessie yang membungkamku. “Jika kau ingin mengganjar wanita itu, maka diam dan dengarkan!”

Aku melengos, namun tidak beranjak dari kursiku.

“Dia hanya mengalami pendarahan dalam, dan luka itu tertangani oleh tim medis. Aku tahu kau berharap sebaliknya,” Jessie menyeringai ketika aku menatapnya tajam. “Jika kau menginginkan dia membayar perbuatannya, maka selesaikan kesaksianmu.”

“Jikalau pun aku bersaksi, dan hukuman ditimpakan padanya, itu tidak akan menghidupkan calon bayiku yang telah tiada.”

“Kau tolol,” seloroh Jessie sambil menyandarkan punggungnya di punggung kursi. Jika bukan Jessie yang mengatakannya, maka aku sudah mencerca orang tersebut. “Tentu saja apa yang telah mati tidak akan hidup kembali. Kau tidak bisa mengharapkan kisah hidupmu seperti sleeping beauty yang hidup kembali karena sebuah ciuman. Cish, kau tidak hidup di dunia dongeng.”

“Kau tidak mengalaminya!” aku menaikkan nada bicaraku, sedikit tersinggung dengan ucapan Jessie.

“Bersaksilah dengan benar! Jebloskan wanita jalang itu ke penjara dan biarkan dia membusuk di sana!” lawan Jessie dengan nada lebih menyentak. “Bayimu tidak akan hidup, namun rasa bersalahmu akan sedikit tertebus.”

Aku menarik jemariku yang tiba-tiba bergetar dari atas meja dan membawanya ke pangkuanku. Mudah untuk mengucapkan, sementara menjalaninya, aku merasa sulit.

“Kyuhyun?” tanya Jessie yang kujawab dengan helaan napas panjang.

“Aku ingin menghukum jalang itu, bahkan ingin melukainya, apa pun itu untuk menyalurkan kebencianku,” tuturku, “namun niatanku adalah pertentangan Kyuhyun.”

“Dan sejak kapan kau peduli dengannya?” sindir Jessie.

“Tidakkah aku harus berhenti untuk tidak peduli?”

Right, you had sex with him, bearing his child,” Jessie membuat mimik tak acuh, “now you’re falling in love with him.”

“Jess…”

“Jangan mengingkar,” Jessie mengangkat sebelah telapak tangannya ke udara. “Aku tidak pernah menentangnya, karena rasa itu bukanlah hal yang harus dipersalahkan. Setidaknya, cinta itu membuatmu hidup.”

“Namun aku adalah orang ketiga, yang berpotensi menghancurkan hubungan kakakku sendiri dengan Kyuhyun,” sesalku. “Dan dengan adanya jalang itu, semuanya bertambah rumit.”

“Kau tahu, Youngie?” pancing Jessie, “It is their game, when their game turned their live upside down, it’s none of your fault.

Aku memejamkan mataku sejenak, meresapi kalimat Jessie. “Tapi dia kakakku.”

“Dan jalang yang kau sebut adalah sepupunya.” Jessie mengangkat punggungnya dari sandaran kursi sehingga sedikit mencondong ke arahku. “Sebesar apa pun kesalahan Siwon, kau terbentur pada kenyataan bahwa dia kakakmu. Seperti itu juga Kyuhyun terhadap Victoria.”

Aku lagi-lagi melengoskan pandanganku dari Jessie. “Dan dengan melimpahkan kasus ini pada hukum, kau berpikir demikian adalah baik untuk kami?”

“Setidaknya itulah satu-satunya cara untuk menebus kesalahan Victoria yang bisa ditolerir oleh Kyuhyun. Bukan dengan kemarahanmu yang membutakan akalmu, karena hal itu akan menempatkan Kyuhyun dalam posisi sulit.”

Aku memalingkan wajahku ke arah Jessie, menelaah nasihatnya. Entah malaikat mana yang saat ini merasukinya hingga berkata lembut padaku. Tidak, Jessie memang memiliki gayanya sendiri.

“Mengenai cintamu, bebaskanlah. Jangan biarkan perasaan itu menekanmu.”

“Dan bagaimana melakukannya?”

“Kau akan tahu nantinya ketika cintamu memilih.”

Aku menurunkan ketegangan bahuku untuk mengapresiasi pembicaraan dengan Jessie. “And Jess, Sleeping Beauty was just sleeping, not already dead yet.”

Jessie membulatkan mulutnya, “Really?” sangkalnya dengan raut komikal yang setelahnya disusul kekehan kami.

#

Aku gelisah, membolak-balik posisi tidurku, namun rasa kantuk tak kunjung datang. Semenjak pertengkaran siang tadi di rumah sakit, aku belum melihat Kyuhyun. Sudah kucoba menghubunginya, namun terakhir kali aku menelpon, dia mematikan poselnya. Aku berniat meminta maaf, atau paling tidak memperbaiki kericuhan kecil kami.

Hampir tengah malam, dan tidak ada kabar apa pun darinya. Aku tidak mungkin bertanya pada mertuaku karena hanya akan menambah kecemasan mereka. Lihat bagaimana ketidaktahuanku mengenainya! Aku bilang, aku mencintainya, tapi bahkan aku tidak mengetahui hal-hal kecil mengenai dirinya; tempat favoritnya, makanan yang mungkin menjadikannya alergi, atau hal kecil lainnya.

Aku ingin bangun dan menjangkau ponselku, tapi suara kenop pintu yang ditekan menghentikan niatanku. Menarik tanganku, aku memejamkan mataku dengan cepat. Sisi ranjangku yang lain tertekan turun, dan aku tidak perlu membalik punggungku untuk mengetahui gerangan yang melakukannya. Wangi maskulinnya menggelitik hidungku, menggodaku untuk membuka mata dan menyapanya.

Sebelum aku memproses apa yang akan Kyuhyun lakukan dengan menyelinap ke kamarku, oh dia sering melakukannya semenjak aku keluar  rumah sakit, tangannya telah menyusup diantara kepalaku dan permukaan bantal. Menarikku ke belakang, sebelah tangan Kyuhyun melintang di dada atasku, sementara tangan yang lain melingkar di pinggangku. Dari hangat napasnya di tengkukku, dia mengubur wajahnya di sana seakan hal demikian adalah wajar.

Selama aku depresi, Kyuhyun memang sering mengecekku; sekadar mengunjungi kamarku. Bahkan terkadang, tanpa izinku, dia tidur di ranjangku seolah tindakannya adalah sesuatu hal yang lumrah. Akan tetapi saat itu aku pun tidak tahu harus bagaimana menyikapinya. Kenyataannya akalku tidak berfungsi dengan baik, sekadar untuk memaknai eksistensi Kyuhyun.

Aku menjengit, lalu tubuhku menegang dengan refleks; yang membuat Kyuhyun tahu bahwa aku belum tertidur.

“Maaf,” ucap singkat Kyuhyun yang memaksa mataku terbuka.

Tidak bisa berpura-pura, aku menggeser tubuhku hingga punggungku dapat terbaring. Mengamati wajahnya dan membau napasnya yang tidak berbau alkhohol, aku cukup lega dia tidak kembali dalam keadaan mabuk berat. Walaupun aku juga belum pernah memergokinya mabuk hingga tak sadarkan diri.

Kyuhyun memiring ke arahku dan menggunakan sikunya untuk bertumpu di permukaan bantal, sedangkan kepalan tangannya menyangga kepala. Dia menyingkap poniku, “Victoria, dia satu-satunya teman perempuan yang bisa kupercaya.”

Aku diam dan mendengarkan, membiarkan Kyuhyun mengklarifikasi emosinya siang ini.

“Aku membagi rahasiaku atas hubunganku dengan Siwon, pernikahanku denganmu,” di bawah temaram lampu di atas kepala ranjang, dia tersenyum kecil. “Aku bahkan baru menyadari telah menceritakan dirimu padanya di banyak kesempatan, arogansimu dan sesuatu mengenai latar belakangmu yang saat itu kuragukan.”

Kyuhyun menghela napas, sebelum meletakkan kepalanya di bantal. “Yang tidak kusangka, rahasia itu menjadi celah untuk melukaimu. Kau boleh percaya atau tidak, ketika mendengarmu terluka, rasa-rasanya akalku terserap oleh suatu kekuatan hingga menyebabkanku seolah lumpuh untuk beberapa saat.”

“Kau hanya terkejut,” timpalku.

“Aku berpikir seperti itu juga,” Kyuhyun mengangkat tangannya dan mengusap pipiku, “namun saat tiba di ruang operasi, kamudian melihat keadaanmu, aku lagi-lagi mengejur. Seluruh dayaku seakan hilang dalam sekejap, dan seakan bumiku digoncangkan dengan kuat.”

Kyuhyun mengulum bibirnya, terlihat ragu. “Bahkan ketika kau dipindahkan ke ruang rawat, jiwaku seolah masih mengambang. Dan kemudian aku tahu, aku apa yang kurasakan lebih dari suatu keterkejutan.”

“Lalu, kau sebut apa perasaanmu?”

Kyuhyun tersenyum, lalu merangsek maju. Dia mengembus sisi leherku, sebelum mencium ringan pipiku. “Aku tidak bisa menyebutnya dengan gamblang, seperti apa yang kuutarakan kepada Siwon-ie Hyung.”

“Lalu seperti apa hal yang kau utarakan pada kakakku?”

“Kami adalah dua orang yang frustrasi, yang mencari penebusan atas kejenuhan kami. Aku tidak akan mengatakan hubungan kami sebagai kesalahan, karena aku mendapatkan perlindungan dan kenyamanan dari jenis hubungan tersebut. Siwon menyediakan sebuah ketegasan, sebuah harapan, dan sebuah rasa saling percaya.”

“Dia adalah seorang yang kubutuhkan, yang padanya tidak ada kenaifan yang dimiliki kebanyakan wanita atau kejalangan yang ada pada pelacur. Dia adalah suatu tembok kokoh yang menjadi tempat menyandar ketika aku letih atau menjadi sasaran tinjuku ketika aku marah. Dan secara mudah, aku mengatakan kata cinta itu padanya.”

Hatiku bergemuruh saat mendengar pengakuan Kyuhyun. Rasa cemburu itu ada, tapi itu hanyalah setitik dari macam rasa yang saat ini teraduk di hatiku.

“Lalu kau hadir dengan keangkuhanmu, mengobrak-abrik semua prinsipku.”

Aku menolehkan kepalaku ke arah Kyuhyun, “Kau membenciku?”

Kyuhyun memberi jarak, lalu bergumam, “Benci adalah kosakata yang terlalu kuat untuk menggambarkan perasaanku saat itu, kurasa aku lebih memilih kata frustrasi.”

“Bahkan sampai saat ini?”

“Ya.”

Jawaban tegas Kyuhyun membawa jantungku seolah jatuh ke tumit.

“Namun frustrasi itu telah bergeser maknanya,” lanjut Kyuhyun. “Aku tidak bisa mengatakan frustrasi itu sebagai hal negatif, namun juga tidak bisa mengatakannya sebagai hal positif seluruhnya. Seperti sulitnya aku memberikan makna perasaanku padamu.”

“Jika hal itu karena perasaanmu terhadap kakakku, maka—“

Kyuhyun menaruh jemarinya di bibirku untuk menghentikanku. “Aku telah memilih, Young,” tuturnya yang mengagetkanku, “dan aku tidak ingin mendengar sepatah kata pun darimu atau Siwon, yang kemudian menggoyahkanku.”

Aku menahan gejolak rasaku. Menghormati keputusan Kyuhyun, aku rasa pembicaraan kami mengenai hubungan kami bertiga cukup berakhir di sini.  “Victoria?” tanyaku hati-hati tentang topik awal kami yang belum sepenuhnya tersentuh.

“Aku merasa terkhianati,” Kyuhyun tertawa hambar, “mungkin ini karmaku, yang menempatkanku berdiri diantara kekasih dan saudara.”

“Maaf,” ucapku.

“Untuk apa?”

“Untuk berkata kasar.”

“Kau hanya mengungkapkan kesedihanmu, dan seharusnya aku mengalah. Young…” Kyuhyun lagi-lagi menganjurkan jemarinya untuk membelai pipiku, “ada atau tidaknya masalah Vic, tidak mengubah kenyataan bahwa dia adalah saudara sepupuku.”

“Aku tahu, dan aku minta maaf juga atas itu,” ucapku tulus, “seharusnya aku bisa menahan diri, setidaknya di depanmu.”

Kyuhyun tidak menjawab, hanya merangsek kembali hingga wajahnya tidak berjarak dari sisi kepalaku. Mengecup leherku, tanpa bisa kuhentikan, dia memberikan kecup-kecup ringan di sepanjang leher dan rahangku. Sebelum aku sempat bereaksi, Kyuhyun telah mengurungku. “Sesungguhnya ketika bersamaku, aku ingin kau tidak menahan diri. Aku ingin mendengar pikiranmu, yang tervulgar sekalipun. Namun aku juga tidak siap, jika nantinya ucapanmu membuat emosiku naik turun.”

Aku mengangkat tanganku untuk menangkup pipi Kyuhyun. Mengamati air mukannya, aku memberanikan diri menarik wajahnya mendekat. Bibir kami bertemu, bersinggungan, sebelum Kyuhyun memerangkap bibir bawahku. Kami tediam, dan aku menikmati kontur bibirnya yang melekat di bibirku; merasakan kelembutannya, kehangatannya, dan plumpness-nya.

Kyuhyun mengambil inisiasi, menggerakkan bibirnya untuk melumat bibir bawahku. Tubuhnya yang menurun, memberikan beban padaku, tapi tidak cukup untuk membuatku sesak. Ujung hidungnya menggesek pipiku ketika dia mengganti telengan kepalanya. Tidak selesai di bibir bawahku, ciumannya berpindah mengisap bibir atasku.

Seiring ciumannya yang menuntut, semakin keras juga detak jantungku. Tanganku memanjang, melalui punggung Kyuhyun, lalu mengusapnya. Aku membalas setiap ciumannya dengan serupa, seakan tidak dikhawatirkan oleh hal lain. Tidak Victoria, tidak juga Siwon.

Kyuhyun tahu kapan harus berhenti, memberikan aku jeda untuk mengambil napas. Namun kecupannya tidak berhenti, melainkan berlanjut di sepanjang hidungku hingga kening. Dia menyuruk wajahnya di lekuk leherku, bernapas terengah-engah di sana. Hanya beberapa detik, sebelum dengan rakus dia mencumbu leherku.

Aku melenguh, dan tidak berniat menghentikannya. Memanjangkan leherku, aku memberikannya kebebasan. Meskipun ciumannya mulai turun di pangkal leher dan aku tahu tangannya mulai menyingkap leher gaun tidurku, aku pasif membiarkannya.

Kyuhyun seakan tergesa, ingin menguasai aktifitas ini secara penuh. Ketika hisapannya, kuyakin memberi tanda di dada atasku, dia menyentak tubuhnya dariku hingga permukaan tubuh kami tak lagi bersinggungan. “Oh shit!” raungnya rendah. Menyandarkan kepalanya di pundakku, Kyuhyun mengatur napasnya.

Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata almond-nya yang menajam, penuh dengan mendung nafsu. Daripada menuruti hasratnya, dia mengecup keningku, “Maaf,” ucapnya kemudian membaringkan tubuhnya di sisiku lagi. Dia memejamkan matanya, lalu menaruh lengannya di atas dahinya.

Aku ingin menariknya, menawarkan padanya apa pun yang dia ingin lakukan terhadapku. Akan tetapi melihat kondisiku yang belum sepenuhnya pulih, aku menjadi tahu salah satu alasan Kyuhyun menarik diri. Luka tusukku yang belum mengering, juga luka keguguranku. Mungkin juga…

Mempersempit jarak, aku mendekat kepadanya. Kusuruk wajahku di lengan atasnya sebagai bahasa tubuh bahwa aku memaafkannya.

Merasakan sentuhanku, Kyuhyun menganjurkan tangannya untuk mengusap kepalaku. “Izinkan aku di sini untuk malam ini.”

Hmm…” gumamku mengiyakan.

Kyuhyun menelusupkan tangannya di bawahku leherku, hingga tangannya melingkupiku. Dia menarikku lebih intim hingga hampir separuh tubuhku menindihnya. Dia selalu terasa hangat, dan aku menyukai bagaimana tubuh kami melekat dan mengisi.

“Hyunnie?”

Hmm?”

“Kapan aku bisa bertemu dengan temanmu?” tanyaku.

“Teman?”

“Teman yang pernah kau tawarkan untuk bertemu denganku.”

Kyuhyun menaikkan daguku hingga wajah kami bersemuka. “Kau serius ingin menemuinya?”

“Aku ingin mencoba,” tegasku. Teman Kyuhyun yang aku pun belum pernah menemuinya, yang pernah Kyuhyun rekomendasikan padaku. Jika aku keberatan menganggapnya sebagai psikolog, aku bisa menganggapnya sebagai teman.

Kyuhyun tersenyum lega, lalu menngecup dahiku lagi. “Tentu. Aku akan membuatkanmu janji dengannya.”

#

Tanganku menggerayang permukaan ranjang untuk menemukan ponselku yang berdering nyaring. Membuka mata dan melihat display name, aku sedikit mengangkat punggungku. “Hallo Jess,” sapaku sambil menoleh ke samping dan tidak menemukan Kyuhyun di sana.

My freaking goodness, Youngie!” teriak Jessie. “Kau baru saja bangun tidur?”

Alih-alih mengindahkan teriakan Jessie, mataku menjelajahi kamar. Melihat pintu kamar mandi yang terbuka, Kyuhyun agaknya juga tidak sedang menggunakannya. Mungkin dia telah kembali ke kamarnya. Aku melirik jam digital di mejaku, “Aku merasa tidak ada yang salah dengan jam bangun tidurku,” selorohku menjawab Jessie.

“Dimana kau?”

“Menurutmu?” tanyaku balik. “Aku masih punya harga diri untuk bangun di ranjangku sendiri.”

Oh, God…” rintih Jessie. “Ingatkan aku untuk memukul kepalamu ketika kau datang kemari!”

“Aku tidak mengerti,” sahutku datar untuk sikap berlebihan Jessie.

“Kakakmu sadarkan diri malam tadi, dan—“

“A…apa?” aku tergagap, kemudian turun dari ranjang dengan segera. Tidak menggubris telepon Jessie, aku menyambar coat-ku yang praktis menutup gaun tidurku. Berlari kecil untuk mencapai lantai bawah, aku terhenti sejenak saat mencapai luar dan tidak menemukan Audi milik Kyuhyun di sana. Mungkin Kyuhyun lebih dulu ke rumah sakit, tapi…

Menghentikan terkaanku, aku bergegas keluar halaman dan mencegat taxi. Di saat seperti ini, aku masih tidak memungkinkan menyetir sendiri. Sepanjang jalan aku gelisah. Rasa-rasanya aku ingin menerbangkan taxi ini untuk membelah kepadatan lalu lintas, namun yang bisa kulakukan hanya menggigit bibir atau berulang kali menyuruh sopir taxi untuk mempercepat laju taxinya.

Perkataan Jessie terngiang di telingaku, membuatku menangkupkan kedua tanganku di depan mulut. Bibirku ingin tersenyum, meskipun mataku memanas dan berair. Oh Tuhan…

Aku menekan perutku di bagian yang terluka ketika ketidaksabaranku memacu kakiku untuk berlari. Bahkan lift seakan berjalan lambat ketika perasaanku sangat bergembira. Aku mendengar bunyi ‘ting’ yang menandakan aku telah sampai di lantai tujuanku. Beberapa langkah lagi, dan aku bisa menemui kakakku dalam kondisi sadar.

“Ny. Cho!” Sebuah panggilan membuatku terhenti.

Aku membalik tubuhku, lalu melihat seorang pria paruh baya menghampiriku. Tidak salah lagi bahwa panggilan itu memang ditujukan untukku. Mengerutkan kening, aku mencoba mengingat pria di depanku. Ah, sopir keluarga Cho.

“Untuk Nyonya,” ucap ahjussi ini sambil menganjurkan tangannya.

Dengan ragu, dan entah mengapa berdebar, aku menerima sebuah kunci mobil. Bersamaan dengan itu, sebuah bunyi menandakan pesan masuk ke ponselku terdengar.

“Aku hanya diperintahkan menyerahkan ini pada Nyonya,” tutur lanjut pria ini, sebelum undur diri.

Mengangkat kunci mobil di tanganku, tidak salah lagi kunci ini milik Kyuhyun. Hanya saja aku tidak mengerti mengapa dia menyerahkan kunci ini padaku. Padahal Kyuhyun sendiri yang melarangku membawa mobil. Merogoh saku coat-ku, aku mengambil ponsel dan membuka pesan.

From: Kyuhyun, Cho

Dan aku tidak bisa berdiri diantara kalian; kau dan Siwon.

Rahangku bergetar, demikian juga dengan jemariku. Dadaku berdentum dengan keras, dan hampir-hampir melimbungkanku. Menarik langkahku yang memberat, aku memasuki ruang inap Siwon.

Mataku tertuju padanya, yang terbaring lemah, yang juga mengalihkan tatapannya padaku. Masker oksigen masih terpasang, menutupi mulut dan hidungnya. Namun mata jernihnya yang membuka, menandakan dia kuat. Aku mendekat dengan diam, namun air mataku tidak berhenti mengalir. Meraih jemari kakakku, aku menatap lurus ke matanya, “Welcome back, Oppa…”

…Dan sebelah tanganku yang lain mencengkeram kunci Audi, benda yang Kyuhyun tinggalkan. Pada akhirnya, aku mengerti keputusannya. Bukan aku atau Siwon yang dia pilih, melainkan kesendirian.

 

TBC*

 

 

 

Note:

Di part ini aku hanya ingin menunjukkan kemarahan Youngie. Bagaimana dia, sebagai manusia biasa, memiliki kebencian terhadap Vic. Dan melaluinya, aku ingin menunjukkan pada kalian bahwa Youngie bukan tokoh dengan karakter sempurna.

I do really sorry for keeping you wait. Really. Tentu aku tidak ingin menelantarkan ff yang sudah kutulis, tetapi akhir-akhir ini aku masih beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Ditambah masih ada tanggungan penelitian. So so sorry.

BTBE akan berakhir di chapter 17.

Satu lagi bahwa aku memutuskan untuk tidak menulis/ meneruskan A Surrogate Baby. Entah rasaku mengapa berubah, karena melihat Hae, seakan dia masih belum kekanakan. Dan aku sedikit kesulitan membangun karakternya. But, ofc, I still like him. He’s one of my favorite. Baby Hae, grow up faster, ok?

Aku berangan ingin membuat ff tentang single daddy, dan mengambil Siwon sebagai pemeran utama. Bila kalian memiliki ide, unek-unek, imajinasi, apa pun itu mengenai tema single daddy dan mempercayakanku untuk menuangkan dalam tulisan, please be free to contact me @arsvio atau langsung email lenterajingga13@yahoo.com.

 

[1] Vegetative: alive but showing no brain activity.

[2] Sianida: zat beracun.

 

Pic Spam:

siwon beardy2

The gorgeous beardy Siwon. I like his appearance with beard, looks mature, manly, and have a western-features.

156 thoughts on “Behind Those Beautiful Eyes [16]

Would you please to give your riview?