A Lovely Coincidence [Shot 6]


A Lovely Coincidence 6

A Lovely Coincidence [Shot 6]

Mengetuk-ngetukkan pensilku di meja, aku memutar otak untuk memahami buku yang sedang kubaca. Semester pertama kulalui tanpa hambatan berarti dan Januari ini aku akan memasuki semester kedua. Kuputar pergelangan tangan kiriku untuk mengecek waktu. Aku mengerutkan bibir ketika melihat jam digitalku menunjukkan 12.30 pm. Tiga puluh menit lagi, Hyun akan memiliki waktu istirahat. Mengalirkan nafasku dengan desahan cukup kasar, aku bimbang untuk memutuskan apakah akan menemuinya atau tidak.

Sejak Hyun mengajakku berlibur di Korea, sikapnya terhadapku sulit kumengerti. Aku merasa aman ketika dia menggenggam tanganku, merasa terlindungi ketika dia menyelipkan tangannya di pinggangku, dan merasa duniaku terjungkir ketika bibirnya menyapu bibirku. Kutangkup pipiku dengan sebelah tangan saat merasakannya tiba-tiba memanas. Bayangan ciuman terakhir kami di Singapore Flyer terlintas begitu saja di memoriku. Mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajah, aku agak menundukkan kepala agar tidak menarik perhatian sekelilingku karena kemungkinan besar wajahku saat ini memerah.

Kuhembuskan nafas dengan irama beraturan untuk menetralkan detak jantungku yang tiba-tiba berdetak liar. Meletakkan tanganku di dada, aku dapat merasakan degub jantungku mulai normal. Aku meringis dan mencengkeram pensilku tanpa sadar ketika menyadari begitu besar pengaruh setiap kenangan dengan Hyun.

Aku tidak mengerti dengan sikap Hyun yang mendadak berubah menjadi dingin ketika aku mengantarkan makan malam dulu. Cukup terkejut dengan perubahannya kala itu, aku tidak ingin membantah lebih lanjut. Kupikir, Hyun hanya butuh waktu sendiri sehingga aku meninggalkannya. Dan aku bersyukur hatiku meragu dengan keadaannya hingga membuat langkahku melambat. Saat mencapai pintu keluar, telingaku mendengar suara gaduh dari ruang makan

Kubereskan buku, peralatan tulis, dan ipad milikku dengan segera. Usai memasukkan segala barangku dalam tas, aku membalik badanku dan seketika bibirku tertarik membentuk senyum tipis ketika melihat Kris melintas. Mempercepat langkahku untuk menggapai Kris, mataku terus mengikuti gerak tubuhnya.

“Kris!” Aku meneriakkan namanya sembari melambai agar dia mengindahkanku. Berlari kecil, kupercepat langkah kakiku untuk menjangkaunya. Ketika pandangan Kris menemukanku, dia menghentikan ayunan langkahnya. Aku mengulas senyum dan semakin bersemangat untuk mencapai tempatnya. Langkahku melambat dan senyumku memudar tatkala kutangkap sorot matanya. “Hi!” sapaku riang untuk mengabaikan tatapannya yang tajam. “What lecture will you take in this term?” aku semakin menarik sudut bibirku keluar saat Kris tidak bereaksi. “Hmm?”

You still care about your lecture, don’t you?”

Aku mengerutkan keningku begitu mendengar kalimat Kris yang lebih terasa seperti sindiran. “What’d happen here?” Kukedikkan kedua pundakku ringan sebagai ekspresi tanya.

Cish!” Kris melengoskan wajahnya sejenak. “Are you pretending nothing happen, Lynn?”

I’m really clueless.” Aku menggeleng sebagai jawaban. Sikap Kris begitu berbeda dari biasanya dan hal ini sungguh menggangguku. Apakah aku melakukan kesalahan hingga membuatnya terganggu?

Just ask your Yahoo!” Kris dengan cepat membalikkan badan dan berjalan meninggalkanku. Melihat punggungnya semakin menjauh, aku sungguh heran dengan sikapnya padaku. Selama kami mengenal, Kris belum pernah mengabaikanku seperti ini.

***

Aku mengamati gerak angka yang terus naik di panel lift yang kunaiki. Memikirkan sikap dingin Kris padaku membuat otakku dipenuhi tanda tanya. Aku tersentak kecil dengan bunyi ‘ting’ ketika angka berhenti di lantai 17. Melangkah keluar, aku menuju ruangan di sudut sebelah kanan lift. Ruangan berpintu kayu kokoh dengan papan bertuliskan ‘director’ adalah tujuanku datang kemari.

Setelah mengetuk pintu, aku mendorongnya terbuka, kemudian mendekat ke meja sekretaris. “Do Mr. Cho Kyuhyun on his room?”

“Oh, Miss Adelynn.” Sekretaris Hyun berdiri untuk menyapaku. Wanita baya tersebut mengukir senyum menawan di bibirnya. “Yes, he is. But at this moment, he has a meeting with his assistant. You can wait for a while.” Dia mempersilakanku dengan gesture tangan untuk menunjukkan ruang tunggu.

Ok. Thank you, Mrs. Sarah.”

You’re welcome.” Sekali lagi senyum tersungging di bibir Mrs. Sarah. Walaupun aku tidak mengenal Mrs. Sarah secara dekat, namun aku merasa nyaman dengan sopan santun dan etika yang dia tunjukkan.

Begitu membalikkan badan, secara tidak sengaja aku bertabrakkan dengan seseorang. “I’m sorry.” Aku menundukkan kepala untuk meminta maaf pada orang tersebut. “Ah,” Berlutut dengan segera, aku membantu pria yang kutabrak untuk menjumputi barang-barangnya yang tercecer. Mendengar pekik halus, aku yakin Mrs. Sarah sedang memperhatikanku. Sejurus kemudian, dia juga ikut membantuku.

Dari sekian barang milik pria yang kutabrak, beberapa lembar foto menyita perhatianku karena terlihat familiar. Niatku ingin mengambil foto-foto tersebut, namun kalah cepat dengan pria ini. “It’s ok, Miss. I’m sorry, too.” Pria yang kutabrak, tidak lain adalah Mr. Chen, asisten pribadi Hyun. Kubalas permintaan maafnya dengan anggukan kepala sekali lagi karena merasa sungkan.

Memasuki  ruangan Hyun, aku melihatnya membereskan beberapa dokumen dengan cepat. Melihat gelagatnya, agaknya dia sedang terburu. “Lynn, you do here?” Menyelipkan pena di saku depan, Hyun dengan cepat menjangkau jas dan memakainya. “Sorry, I have an appointment to meet a business relation. If you mind, you can wait here.

Tanpa memberikan kesempatan menjawab, Hyun melewatiku begitu saja. Tubuhku secara spontan memutar untuk mengikuti gerak Hyun hingga hilang dibalik pintu. Aku menggembungkan pipi kemudian membuang udara dari dalamnya dengan cepat ketika merasa kecewa. Hyun sama sekali tidak memberitahukan sampai kapan aku harus menunggu. Tapi baiklah, mumpung aku masih libur dan memiliki banyak waktu luang, aku akan menunggunya.

Aku duduk di salah satu sofa di ruangan Hyun. Mengeluarkan ipad, aku mencoba membunuh waktu dengan browsing. Mengingat perkataan Kris padaku, jariku dengan cepat mengetikkan alamat situs yang dia maksud. Mataku membulat sempurna ketika menemukan fotoku terpampang sebagai salah satu posting di slider halaman utama Yahoo Singapore. Artikel dengan judul ‘Kyuhyun Cho Spent New Year Eve with His Fiancee’ memasang fotoku dengan Kyuhyun.

Mengapa pers tiba-tiba tertarik dengan kehidupan pribadi kami? Aku menelengkan kepala sambil berpikir. Kubuka link artikel tersebut, kemudian membacanya dengan cepat. Kutemukan alasan mengapa berita ini menjadi menarik setelah membacanya. Skandal Hyun dengan Seohyun ternyata cukup menggema di Singapore. Itu mengapa kedekatanku dengan Hyun menjadi kontraposisi atas skandal tersebut hingga menjadikannya menarik untuk diangkat ke publik.

Aku tidak menemukan hal tabu yang menjadi alasan Kris marah padaku. Fotoku dan Hyun yang terpasang di artikel Yahoo masih cukup sopan dan pantas dilihat. Lagipula, mengapa Kris harus terganggu dengan pemberitaan ini? Seharusnya akulah yang merasa jengah dengan hal tersebut.

Mengenai skandal Hyun dan Seohyun, aku hanya bisa mengatakan bahwa sepenuhnya aku percaya pada Hyun. Ada unsur kesengajaan dalam skandal tersebut. Seperti yang dijelaskan Daehyun padaku, beberapa pihak agaknya mengambil keuntungan dari pemberitaannya. Mungkin ingin mempertunjukkan bahwa masih ada harapan bagi Hyun dan Seohyun bersama lagi.

Aku mengetukkan dengan ringan ujung telunjukku pada pojok tablet. Apakah mungkin jika beritaku dan Hyun tersebar di Korea? Memenuhi rasa ingin tahuku, kubuka search engine milik Korea, Naver. Perkiraanku, tidak akan banyak halaman web yang memuatnya, mengingat pemberitaan tersebut hanya hal biasa. Diluar dugaan, cukup banyak blog yang mem-posting-nya. Aku menelusuri beberapa diantaranya dan terkejut ketika melihat foto-foto yang beredar. Berbeda dengan yang ditampilkan Yahoo, foto-fotoku dan Hyun diterbitkan lebih berani. Pipiku memanas seketika saat melihat foto kami berciuman beredar di dunia maya.

Aku membaca dengan kilat artikel-artikel tersebut. Kebanyakan artikel merupakan kesangsian mengenai hubunganku dengan Hyun, juga hubungan Hyun dengan Seohyun. Cukup banyak masyarakat yang memberikan komentar untuk menanggapi pemberitaan tersebut. Seperti koin yang memiliki dua sisi, beberapa pendapat mendukungku dan yang lain mendukung Seohyun.

Menggigit-gigit ujung kuku ibu jariku, aku berpikir mengenai berita-berita kami bertiga yang tersebar di dunia maya. Aku menyandarkan punggungku kemudian memandang meja kerja Hyun, sekedar untuk mengimajinasikannya duduk di sana. Perlahan aku bangun ketika mataku menangkap sesuatu di meja Hyun.

Mengulurkan tangan, aku mengambil sebuah amplop coklat seukuran A5. Merasa tidak asing, kuamati sejenak amplop tersebut. Ah, benar. Amplop ini serupa dengan milik Mr. Chen yang di dalamnya tersimpan beberapa foto. Rasa penasaranku benar-benar besar hingga kuabaikan kesopansantunan untuk membuka barang milik Hyun tanpa seizinnya.

What on earth is it?” Aku menemukan foto-fotoku dengan Hyun ketika kami bersama di malam tahun baru. Mulai dari foto kami saat menelusuri teluk Marina hingga semua momen di Singapore Flyer. Apa maksud Hyun menyimpan foto-foto ini? Apakah ada seseorang yang mengancamnya dengan mengirimkan foto-foto ini padanya? Karena jikalau pun itu benar, foto-foto ini sudah beredar luas di dunia maya.

Membolak-balikkan amplop, aku tidak menemukan suatu alamat. Jadi tidak mungkin amplop ini berada di sini karena pengiriman. Penjelasan paling logis adalah seseorang mengantarkan amplop ini kepada Hyun secara langsung. Kutemukan sesuatu yang lain di sudut depan amplop. Sebuah inisial JH tertulis di sana.

Aku menyambar ipad untuk mencari arti inisial tersebut. Terdapat banyak penemuan terhadap inisial yang kuketik. Kutelusuri satu persatu halaman web yang memunculkan artinya. Aku menajamkan fokusku saat menemukan sebuah image tulisan JH. Mencocokkan dengan tulisan yang berada di amplop, aku melihat kesamaan. “Jonathan Hoel,” lirihku. “And he is a photographer,” sambungku tak percaya.

Kepalaku tertoleh ketika mendengar pintu terbuka. Hyun kembali dari pertemuannya dengan rekan bisnis. “I’m sorry, Lynn. I didn’t have time to lunch.” Dia menghampiri meja kerja untuk mengambil beberapa map dan tablet-nya. “I have an urgent meeting right now.” Hyun bahkan tidak mengindahkan ekspresiku.

Aku mendekati Hyun dan melemparkan foto-foto di tanganku ke mejanya. “And I thought, you also didn’t have time to explain this!”

Hyun menghentikan kegiatannya sejenak untuk melihat barang yang kulempar. Dia menegakkan pandangannya. “Bagaimana kau bisa—“

“Kau dibalik semua pemberitaan ini, Hyun?” Aku sangat kecewa dengan kenyataan yang kutemukan. “Semua ini adalah rencanamu, bukan?” Selama ini, apa pun yang terjadi, aku mempercayai Hyun tanpa keraguan secuil pun. Namun fakta yang kudapatkan meruntuhkan kepercayaanku padanya.

“Lynn, aku tidak punya waktu untuk berdebat.” Hyun mengambil langkah untuk meninggalkan perdebatan kami.

Then give me just 5 minutes!” teriakku. Kukepalkan tanganku untuk meredam jemariku yang gemetar. Dadaku terasa terhimpit sesuatu hingga membuatku kesulitan mendapat oksigen. “Sejak awal, kau telah merencanakan semua ini?” Mulai dari liburan kami di Korea, malam Natal yang kami habiskan bersama, dan juga malam tahun baru di Singapore Flyer, aku yakin Hyun sudah memperkirakannya. Tidak ada dari interaksi kami yang tulus. Semua sudah terorganisir dan terencana dengan rapi olehnya.

“Lynn, aku tidak ingin menjawab pertanyaanmu untuk saat ini.” Hyun dengan tenang menjawabku.

Aku nampak bodoh dengan mengasumsikan bahwa kedekatan kami terjalin sedikit demi sedikit. Mengira bahwa yang Hyun tunjukkan padaku adalah suatu rasa tulus. Aku sungguh salah menilai. Selama ini dia hanya bersandiwara untuk berlaku baik padaku. Hyun hanya mengambil keuntungan dari setiap interaksi kami, seperti saat di malam tahun baru. Lelaki ini hanya menggunakanku untuk membalas skandalnya dengan Seohyun.

Meskipun sejak awal dia mengatakan tujuannya bertunangan denganku adalah demi menjauhi Seohyun, namun hatiku tetap merasa sakit ketika menemukan kelicikannya. “Kau merasa puas dengan rencanamu, Hyun?” Mataku mendadak merasa panas ketika dadaku juga merasakan hal serupa.

“Adelynn…”
Answer me!” Sekali lagi aku mengeraskan volume bicaraku. Hyun seolah berusaha menarik ulur pembicaraan kami untuk menyembunyikan kebenaran. Dia hanya berdiam diri dan menatapku kosong. Hal yang membuatku menarik dugaan bahwa pertanyaanku adalah retoris.

Menyambar tasku, aku segera berlari keluar dari ruangan Hyun saat air mata turun begitu saja. Kuusap dengan kasar pipiku saat merasakannya basah. Aku menekan tombol lift dengan frekuentif. Suatu hal yang sia-sia untuk dilakukan, namun ketika kekecewaan dan kemarahan mendominasiku hal tersebut adalah bentuk penyaluran.

***

Melemparkarkan tas dengan sembarang, aku kemudian menyurukkan wajahku pada bantal. Segala rasa sakitku mengalir bersama tetes-tetes air mata yang masih saja belum mengering. Mengapa dengan mudahnya aku percaya bahwa Hyun tulus padaku? Aku sungguh tolol dengan tidak bisa membedakan antara sandiwara dan kehidupan nyata.

Rasanya sangat menyesakkan saat mengetahui pria yang selalu bisa menenangkanku ternyata hanya berpura-pura. Aku tidak mengatakan bahwa penculikan yang menimpaku membawa diriku kembali seperti 15 tahun silam saat kehilangan Mommy. Seorang introvert yang perlahan membuka diri dan menerima kehadiran orang lain. Walaupun aku sempat merasakan traumaku kembali, tapi Hyun selalu berhasil menepisnya. Genggaman tangannya yang erat senantiasa membuatu aman dan terlindungi. Tapi bagaimana hal tersebut menjadi ketenanganku sekarang?

Aku menerima semua sikap Hyun karena berpikir hal tersebut adalah suatu bentuk fluktuatif. Siapa pun yang berada di posisi Hyun, aku yakin, akan merasakan stres. Mengingat segala beban yang ditanggungnya, aku berusaha memaklumi setiap sikapnya padaku. Namun demikian tidak lantas melegalkannya untuk membohongiku.

Kenangan-kenangan kami adalah kepalsuan. Setiap detik yang kami lalui hanyalah bagian dari rencananya. Hyun, why did you do this to me? Aku semakin membenamkan wajahku ke bantal saat suara isakanku lolos.

***

“Lynn!”

“Adelynn!”

Suara maskulin perlahan menggusur alam mimpiku. Aku mengerut-ngerutkan kelopak mataku dan membukanya perlahan. Rasa pedih akibat menangis kurasakan tatkala mataku telah terbuka. Kukerjap-kerjapkkan kelopak mataku dan menggosok-gosoknya pelan untuk mengurangi pedih. Menumpukan sebelah sikuku, aku bangun. “Yeah, Oppa!” Kusahut teriakan Aiden Oppa.

Wake up and come down. Your surprise is waiting.”

Aku mengerutkan bibirku. “Surprise?” Memandang pintu, aku merasa heran. Ini bukan hari ulang tahunku atau pun hari spesial untuk dirayakan.

Take a look by yourself, Darl.”

Menekan klep untuk menyumbat aliran air, aku memenuhi wastafel dengan air. Kubenamkan wajahku pada kubangan air agar lesuku berkurang. Mataku menjadi sedikit sembab karena lama menangis. Mengusap lembut wajahku menggunakan handuk, aku bersegera turun untuk memenuhi panggilan Aiden Oppa.

Menjatuhkan rahangku, aku dapat melihat Aiden Oppa bergaya di depan sebuah sedan bewarna merah metalik. Melihat logo oval di bagian depan, jelas bahwa mobil tersebut keluaran Toyota. “What’s that?”

Camry hybrid for your riding.” Merentangkan kedua tangannya terbuka ke udara, aku segera melompat masuk dalam pelukan Aiden Oppa.

Thank you so much my beloved brother.” Aku mengecup pipinya saat Aiden memelukku hingga tubuhku terangkat. “You’re the best!” pekikku riang.

Aiden Oppa menurunkanku kemudian mencubit kecil ujung hidungku. “Of course, I am. Let’s have a test drive.” Membukakan pintu bagian kemudi, Aiden Oppa mempersilakanku masuk. Setelahnya, dia memutar bagian kap untuk mencapai sisi penumpang. “Let’s go!” teriaknya antusias sambil mengangkat kepalan tangan kanannya.

“Bagaimana kau mendapatkannya, Oppa?” Aku memerhatikan jalanan sembari masih mengagumi interior mobil ini. “Maksudku Grup Xian hampir saja bangkrut dan kau masih dapat membeli sebuah Camry?”

“Hey, meskipun seperti itu, aku tak lantas jatuh miskin, bukan?”

Aku meninju kecil lengan Aiden Oppa, kemudian sedikit tercengang. “Wow, you have well built body, haven’t you?” Merasakan otot-otot lengannya, aku tak mengira Aiden begitu baik melatih tubuhnya.

Oh, My Darl! Kau baru menyadarinya? Memang kemana saja kau selama ini, huh?” Aku memang beberapa kali melihat Aiden mengenakan kaus berlengan pendek atau bahkan ketika shirtless. Tapi rasanya waktu itu sudah berlalu cukup lama. Akhir-akhir ini, karena kesibukannya, kami hanya bertemu ketika sarapan dan makan malam. Tentunya, dia dalam kondisi berkemeja rapi sehingga aku pun tidak begitu memerhatikan. “Sibuk untuk mengurusi Mr. Cho-mu itu?” goda Aiden Oppa yang seketika membuatku menolehkan kepala padanya.

Menepikan mobilku, aku menginjak rem untuk menghentikannya. Dari tempat kami berhenti, dapat terlihat biru laut yang hampir menyatu dengan langit di batas cakrawala. Aku membuka seat belt, meyelipkan tanganku di lengan Aiden, kemudian menyandarkan kepalaku di pundaknya.

“Adelynn…”

Please, lend me your shoulder, Oppa.”

Kudengar helaan nafas Aiden Oppa. “Everything to you, My Darl. Wanna speak up?” Aiden Oppa sudah sangat hafal bahasa merajukku.

Aku mengeratkan pelukanku di lengan Aiden Oppa. Kupejamkan mataku untuk menikmati rasa tenang yang menjalar. Kuhembuskan nafas dengan irama teratur. Segala kerisauanku muncul kembali hingga tanpa sengaja air mata mengalir dari mata terpejamku. Aku dapat merasakan jemari Aiden Oppa yang mengusap puncak kepalaku. “I am so naïve, aren’t I?”

And I think, naïve isn’t a sin.”

But it’s hurt me so badly.”

“Lynn, sesuatu yang buruk terjadi? Tell me then?” Aiden Oppa selalu saja bersikap protektif padaku.

Aku mengangkat kepalaku dan memandangnya. “If someone got me aches, will you beat him hardly?”

Aiden Oppa membesut air mataku menggunakan ibu jarinya. Dia tersenyum memukau, seperti biasa, yang selalu menjadi kekagumanku. “Adelynn, we aren’t juvenile anymore, are we? Tidak setiap masalah diselesaikan dengan otot, bukan?” Memberikan kecupan di keningku, aku tahu Aiden Oppa sangat menyayangiku. “Yah, meski memukul orang tersebut adalah hal yang sangat ingin kulakukan.”

Aku tertawa kecil atas candaan kakak lelakiku. Dia hanya berupaya berpikir dan bersikap dewasa, walaupun tetap ada sisi gegabah. “Bagaimana jika seseorang yang kau percaya ternyata tidak jujur padamu?”

Aiden Oppa terlihat mengerutkan kening. “Apakah kau sedang membicarakan kisah asmaramu dengan Kyuhyun?”

Could you just answer it?!” Aku mencebikkan bibir sebagai protes.

“Lynn, tidak jujur bukan berarti dia berbohong bukan? Mungkin saja dia sedang mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan hal yang disembunyikannya. Maka berikanlah dia kesempatan untuk berbicara. Lain halnya jika dia berbohong, maka kau berhak untuk menyangsikannya.”

“Tapi baik tidak jujur atau berbohong sama-sama memberikan luka.”

“Itu mengapa seseorang melakukannya.” Aku memandang Aiden Oppa untuk mendengar lanjutan pendapatnya. “Karena dia tidak ingin seorang yang disayanginya terluka. Walaupun pada akhirnya, ketika ketidakjujurannya dan kebohongannya terungkap tetap akan melukai. Tapi setidaknya, dia berusaha untuk menahannya sejenak dan mencari waktu yang tepat agar orang terkasihnya siap menerima suatu fakta yang disembunyikan.”

Meletakkan kembali kepalaku di pundak Aiden Oppa, aku merenungkan pendapatnya. Merasakan tepukan ringan di pundakku, aku merasa sedikit tentram. Aku sangat lega karena memilikinya. Sesuatu yang tidak bisa dibantah atau pun direbut dariku, Aiden Oppa.

My Darl, jika yang kau bicarakan mengenai Kyuhyun, maka berikan dia waktu untuk bicara. Aku yakin dia memiliki pertimbangan sendiri.”

How could you know that?”

“Bekerja sama dengan Kyuhyun membuatku mengenal sedikit mengenai kepribadiannya. Aku yakin, dia pria baik.”

Aku memejamkan mataku kembali dan merekam setiap kata-kata Aiden Oppa. Meskipun apa yang disampaikan lebih berpihak pada Hyun, tapi aku cukup tenang untuk mendengarkannya. Tapi bukan berarti rasa sakit hatiku sembuh secara total. Sampai kudapatkan kebenarannya, aku tetap meragukan Hyun.

***

Good morning.” Sambil menyapa Kris, aku meletakkan beberapa tabung reaksi pada penyangganya. Kuliah memang belum dimulai, tapi beberapa dari kami melakukan praktikum sekedar untuk memperdalam suatu materi. Aku mengangkat pandanganku untuk menatap Kris, tapi pria ini tidak memedulikan dan lebih sibuk dengan catatan praktikumnya. “Do you still mad at me?”

Kris menghentikan gerak tangannya yang sedang menulis, lalu menatapku kesal. Aku siap dengan alasan atau apa pun yang akan dia katakan padaku. Setidaknya demikian lebih baik daripada dia diam. Tapi kalimat yang kutunggu tak kunjung terucap darinya. Menutup buku tulisnya dengan kasar, Kris membereskan beberapa buku bacaannya dengan cepat. Dia menyusun buku-buku tersebut dalam tumpukan  dan menentengnya seraya meninggalkanku.

“Kris!” Aku mengejarnya dan menghalangi jalannya. “I’m sorry for ruining our holiday project.” Kris mungkin marah karena aku meninggalkan proyek praktikum liburan kami karena pergi ke Korea ketika Natal lalu. “Pretty please.” Memandangnya penuh harap, aku berusaha untuk mendapatkan maafnya.

You’re wasting your time to talk about it now. Our cooporation had failed even if you say thousand apologies.” Kris siap melangkah, namun kutahan lengannya.

But without me, you still had finished it perfectly. Because of that, you got perfect mark and I didn’t. I thought, it’s so fair. Then, what’s the matter?” Meskipun kerja sama kami gagal, Kris tetap menyelesaikan proyek tersebut dengan sempurna. Dia satu-satunya mahasiswa yang mendapatkan nilai A pada mata kuliah tersebut.

Do I look the ambitious one to get perfect score?” Kris menyentakan lengannya hingga terlepas. “You didn’t get the reason yet, Lynn.” Dia berlalu tanpa bisa kucegah. Aku sungguh tidak mengerti alasan dia marah dan mengabaikanku.

***

Aku membersihkan meja dari sisa-sisa makanan pelanggan. Mengisi liburanku, aku bekerja di sebuah café. Aku terbiasa menghabiskan liburan musim panas dengan bekerja paruh waktu ketika tinggal di UK. Awalnya Dad menentangku, tapi aku meyakinkannya bahwa yang kulakukan hanya untuk mengisi waktu luang. Tentu saja, Aiden Oppa ikut membujuk Dad agar memberikan izin.

Hingga hari ini, Hyun sama sekali tidak menghubungiku, begitu pula sebaliknya. Sepertinya dia tidak berniat untuk menyelesaikan permasalahan diantara kami. Dengan demikian, kekecewaanku padanya semakin berlipat. Aku mendesahkan nafas entah untuk ke berapa kalinya.

“Adelynn? Something gone wrong?”

“Oh!” Aku memekik kaget saat seorang rekan kerjaku menegurku. Melihat meja yang kubersihkan, aku tidak sadar telah mengelapnya berulang kali hingga noda tidak bersisa setitik pun. “Nothing.” Mulai salah tingkah, aku lekas-lekas menjinjing nampan yang telah penuh dengan peralatan makan yang kotor.

“Adelynn, could you handle this?” Meletakkan peralatan kotor dalam bak cucian, aku bergegas menoleh saat rekan kerjaku memanggil. “I have a call.” Dia menyerahkan sendok sayur padaku dengan terburu.

Membuat gerakan melingkar, aku mengaduk sop yang sedang dimasak. Memundurkan punggungku sedikt, aku dapat mengintip punggung seseorang yang sedang mengerjakan pesanan. Kris. Sama-sama pernah merasakan hidup di barat, bagi kami kerja paruh waktu adalah hal biasa. Wajahnya yang masam menegaskan bahwa dia dalam mood yang tidak baik. Apa yang sebenarnya telah kulakukan hingga membuatnya marah?

“Oh!” Aku terkejut ketika dengan tiba-tiba Kris menoleh ke arahku. “Ash…” Sialnya, saking kagetnya aku tidak memperhatikan gerakkanku. “Oh my…” Aku merintih karena punggung tanganku secara tidak sengaja menyentuh panci panas. Dengan cepat, aku membasuh luka bakarku menggunakan air sebagai pertolongan pertama.

Are you ok, Lynn?” rekan kerja yang sekaligus koki di café ini telah kembali. Dia terlihat ikut panik.

Let me.” Meniup-niup udara di punggung tanganku, aku tidak tahu bagaimana Kris bisa mendatangiku. Dia menggeretku ke ruang khusus pekerja, kemudian menekan lenganku agar aku duduk di salah satu bangku.

Mengibas-ngibaskan tanganku, aku berharap bisa sedikit mengurangi rasa terbakarnya. Aku bisa melihat Kris yang mengambil kotak pertolongan pertama di dekat loker. Dia kemudian duduk di depanku sembari mencari obat untuk luka bakar. “I can do it by myself.” Tidak ingin merepotkan, aku mengambil gel dari tangan Kris, namun dia menahannya.

I said, let me!” tekannya dengan nada tegas yang membuatku memilih diam. Dia mengambil tanganku, meletakkan di pahanya, kemudian mengoleskan gel tersebut di luka yang telah memerah.

Meskipun masih terasa panas, aku bisa merasakan sejuk saat gel sudah merata di lukaku. “Thanks.” Aku menarik tanganku, sedangkan Kris membereskan obatnya. Ekspresinya masih kaku seperti pagi tadi, tapi setidaknya aku lega karena dia masih peduli. “Kris, can we talk for a minute?” Aku menahannya berdiri.

Aku ingin mengklarifikasi kemarahannya padaku lagi, namun ponsel di sakuku bergetar. “Sorry,” Mengangkat smartphone-ku, aku meminta izin untuk menjawab telephon barang sebentar.

Hello.”

Can I speak to Miss Adelynn Lee?”

Yes, I am.”

“…” Rangkaian kata sang penelpon setelah itu bagai dengungan di telingaku. Tanganku secara spontan bergetar sebagai imbas dari berita yang dia informasikan. Menutup telepon, aku menangkupkan kedua tanganku untuk mencari rasa aman.

***

But, how could—“ Aku mencoba menanyakan kembali. Tidak nyaman dengan sekelilingku, sedari tadi ucapanku terdengar bergetar. Sudah kucoba untuk menahan ketakutanku, tapi gagal. Aku tidak mau merepotkan Aiden Oppa untuk menemaniku sehingga hanya pengacara yang sempat kumintai tolong mendampingi. Walaupun begitu aku masih merasa terancam.

Miss Adelynn, karena sudah ada pihak yang mengaku sebagai dalang penculikan Anda, maka kasus dinyatakan selesai. Hanya perlu beberapa sidang lagi untuk menentukan hukuman bagi para pelaku.” Telepon sebelumnya adalah perberitahuan dari kepolisian bahwa dari tersangka penculikan yang ditangkap, sudah ada yang mengaku sebagai otak kejahatannya. Pegacaraku sedang mengurus beberapa keperluan terkait ketuntasan kasus ini.

Sorry for disturbing.” Seseorang menarik kursi di sebelahku kemudian duduk. Tanpa menoleh pun, sebenarnya aku tahu siapa yang datang. Dua hari tidak bertemu dan melihatnya, jantungku berdetak lebih kuat saat dia berada di dekatku. Aku mencoba melengos untuk mengontrol emosiku. “Bagaimana bisa kasus ditutup dengan hanya pengakuan dari seorang tersangka?”

And who—“

I am Kyuhyun Cho.” Polisi tersebut memeriksa arsipnya, mungkin untuk mencari alasan mengapa Tuan Cho ini duduk di sini.

“Ah, jadi Anda juga merupakan salah satu saksi.” Menemukan nama Hyun di laporan kasus, polisi tersebut agaknya ingin mengulang penjelasan yang sebelumnya diutarakan padaku.

“Bagaimana bisa kepolisian menyimpulkan kasus terselesaikan, padahal mungkin saja pelaku yang ditangkap bukanlah otak kejahatan sebenarnya?”

“Kami sudah mengupayakan penyidikan semaksimal mungkin, Mr. Cho. Sesuai prosedur yang ada, kami rasa tidak ada yang perlu diragukan mengenai dalang penculikan ini.”

“Tapi mengapa baru sekarang pria itu mengaku sebagai dalang penculikan, padahal penyidikan hampir berlangsung satu bulan lebih?” Aku hanya bisa mendengarkan Hyun beradu pendapat dengan pihak kepolisian. Jika bisa jujur, aku sedikit merasa lega dengan kehadirannya. “Terlebih lagi, belum ada penyelidikan yang mengarah pada keterkaitan hilangnya kendaraan Ahmad Matter dengan kasus penculikan ini,” tandas Hyun.

“Kami sudah memeriksanya dan tidak ditemukan keterkaitan seperti yang Anda ungkapkan. Kasus ini dinyatakan murni penculikan karena harapan suatu imbalan.”

“Imbalan?” bantah Hyun tak percaya. “Jikalau motif imbalan yang menjadi dasar penculikan ini, maka tentu pihak penculik akan menghubungi keluarga korban. Namun pada hari penculikan, kami tidak mendapatkan suatu panggilan.” Aku memberanikan diri untuk menoleh pada Hyun. Ekspresi wajah dan kerut di keningnya yang nampak jelas memberikan gambaran bahwa Hyun sedang kesal. Dia mengepalkan tangan dan memukul pahanya pelan untuk melampiaskan ketidakpuasannya terhadap kinerja kepolisian.

“Maaf, tapi inilah keputusan yang kami ambil sebagai penyelesaian. Terima kasih atas kerja samanya. Silakan menunggu sebentar.” Polisi tersebut mengarahkan tangannya untuk menyuruh kami, aku dan Hyun, berpindah ke ruang tunggu. Tidak ingin mencari masalah, aku berdiri dan mematuhinya.

“Aku menduga ada permainan dalam kasus ini. Sepertinya pihak Ahmad Matter dan orang-orang di belakangnya sengaja menyuruh orang untuk mengaku sebagai otak penculikan.” Hyun mengutarakan pemikirannya sambil menjalin tangannya menjadi satu. Titik pandangannya memusat ke depan dan ekspresinya belum membaik.

Aku akui bahwa pendapatnya mungkin saja benar. Dia lebih mengetahui seluk beluk dan motif yang mungkin mendasari tindak kejahatan ini. Tapi bahkan aku sendiri meragukan Hyun. Jadi bagaima bisa mempercayainya? Apakah dia tulus ingin menyelesaikan kasus ini atau hanya sandiwaranya yang lain?

“Aku akan berbicara dengan pihak pengacaramu. Mungkin kita bisa mencari bukti lain yang mengarah pada keterkaitan orang Vichou pada penculikanmu.” Hyun menengok ke arahku, namun aku memalingkan muka. “Kuantar kau pulang terlebih dahulu.” Merasakan sentuhan hangat Hyun di tanganku, aku buru-buru menarik tanganku.

Aku menatap Hyun dengan tidak bersahabat. “Kau tidak perlu terbebani dengan kasus ini. Jika memang kau dapat membeberkan bukti keterkaitan orang Vichou dalam penculikanku, maka mereka akan semakin menekanmu. Bukankah hal tersebut malah menjadi kerugianmu?” Berdiri untuk menentangnya, aku melangkahkan kakiku.

“Lynn.” Dengan cekatan, Hyun menangkap lengan atasku.

Aku menunggu reaksinya, namun Hyun hanya menatapku datar. Memutar lenganku, aku membebaskan diri dari cengkeramannya. “If nothing to say, I’m leaving.”

Please, trust me.” Aku menghentikan langkahku ketika mendengar ucapan Hyun. Membalikkan badan, aku ingin memastikan pendengaranku. “Could you trust me, Adelynn?”

From the beginning, I always trust you, but you cheated me.” Menarik nafas dalam, aku menyiapkan kata-kata untuk Hyun. “You said, our relationship was based on bussines, so let’s carry on with that thought.”

Can we back home now?” Aku tidak tahu sejak kapan Kris berada di sampingku. Dia memang mengantarkanku, namun kukira Kris telah pergi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk.

I will send you home.” Sekali lagi aku tertahan ketika Hyun kembali mencekal lenganku.

I came with him, so I’ll back with him too.” Mencoba membebaskan diri, aku malah merasakan cengkeraman Hyun menguat. “Let me go!” tandasku dengan masih menggunakan nada rendah supaya tidak menarik perhatian sekeliling kami.

“Adelynn Lee!” balas Hyun dengan volume yang lebih keras. Dia memberikan tatapan garang atas sikap antipatiku.

Hey dude, I’ll make sure she back home safely.” Kris mencoba menengahi.

Menyentakkan lenganku dengan keras, aku dapat lepas dari cengkeraman Hyun. Terahir kali aku menatapnya sebelum pergi adalah pandangannya yang kosong. Aku sempat meragu beberapa saat untuk meninggalkannya, namun sebuah tepukan di pundakku menyadarkanku.

Let’s go.” Mengedikkan kepalanya, Kris mengisyaratkan agar aku mengikutinya.

***

What’re you doing there?” Aku berteriak semampuku agar pria jangkung yang berada di tepi jurang itu mendengarku. “Hey!” Mengeraskan suaraku, aku merasa putus asa ketika pria itu tak kunjung membalikkan badan. Aku berupaya menggerakkan kakiku, namun sesuatu yang kasat mata seakan menahannya. Memandang kembali pria itu, aku merasa mengenali punggung tegapnya. “Hey, you!” Aku tiba-tiba menangis saat dia tidak mengacuhkan panggilanku. “Please, look at me.” mohonku. Nafasku berhenti, begitu juga dengan detak jantungku saat pria itu membalikkan badannya. “Hyun?”

Hi Lynn. Finnaly, I have reached my time.” Hyun tersenyum indah padaku.

Come here, Hyun. Help me, please?” Aku berharap Hyun membantuku untuk melepaskan belenggu di kakiku, tapi dia menggeleng.

You can do it by yourself.” Hyun terlihat tampan dengan tuksedo yang dia kenakan. “This’s my limit. Thank you and good bye.” Merentangkan kedua tangannya, Hyun kemudian menjatuhkan dirinya ke dalam jurang.

“Hyun!”

No! No! Please, back to me…”

Please.”

Please, Hyun…”

“Hyun…”

Aku tersentak secara tiba-tiba dengan nafas yang memburu dan tak beraturan. Mengerjap-ngerjapkan mataku, aku mencoba menangkap seberkas cahaya. Bangun dari posisi terlentangku, aku melihat jam digital di meja sampingku menunjukkan pukul 2.30 am. Kuusap wajahku dengan sebelah tangan dan merasakan keningku yang basah. Ini adalah mimpi buruk ketiga secara berturut mengenai Hyun.

Meraih smartphone, aku mengecek adanya panggilan atau pesan masuk. Mendesah kecewa, aku tidak menemukan apa pun. Menyentuh navigasi kontak, aku mengetikkan ‘Kyu’. Aku benar-benar merasa gelisah terhadap keadaannya. Sesungguhnya aku hanya perlu menurunkan ibu jariku agar menyentuh tanda ‘call’ untuk dapat tersambung padanya, namun harga diriku terlalu tinggi. Lagipula ini masih dini hari, Hyun pasti masih beristirahat.

Menyingkap selimutku, aku bangkit dari ranjang. Kubuka tirai jendelaku lebar-lebar hingga menampakkan keadaan luar yang masih gelap. Bersedekap sembari memandang suasana sebelum fajar, ingatanku kembali pada segala ekspresi Hyun tiga hari lalu di kantor kepolisian.

Aku sudah mencoba menuruti saran Aiden Oppa agar memberikannya kesempatan untuk bicara, namun Hyun sama sekali tidak berniat mengambil kesempatan tersebut. Bahkan saat terakhir kami bertemu, sebenarnya aku menunggu penjelasannya, tapi hingga sekarang Hyun sama sekali tidak menghubungiku. Komunikasi kami selama tiga hari ini benar-benar tidak ada.

Menggigit bibir bawahku, aku sangat mengkhawatirkan kondisinya. Bagaimana kesehatannya? Apakah dia makan dengan baik? Ataukah penyakitnya kambuh lagi? Dan adakah seseorang yang menolongnya saat kesakitan? Aku mengacak-acak rambutku saat pertanyaan-pertanyaan tersebut menggantung tak terjawab.

Aku merasa heran mengapa Hyun tidak melakukan perawatan secara total dan hanya bergantung pada obat? Menarik kursi, aku buru-buru menyalakan notebook-ku untuk memastikan sesuatu. Jari telunjukku bergerak naik-turun pada mouse saat tidak sabar menunggu loading start up. Aku mengetikkan kata ‘brain hermmohage’ begitu browser terbuka dan menampilkan situs search engine default.

***

Aku baru akan membereskan peralatan tulisku ketika sebuah ice cream tersodor di depan wajahku. “Kris?”

You don’t want it, do you?” Kris menggoyang-goyangkan cone ice cream yang dipegangnya.

Bunches of thanks.” Aku menerimanya dengan tersenyum.

How are you?”

“Hmm?” Aku menjilat bibir atasku untuk membersihkan sisa ice cream yang menempel. Aku memandang balik Kris yang menekuk wajahnya. “Ah, I wanna say I’m completely ok, but I’m not.

About kidnapping lawsuit or your fiancé scandal?”

Aku tersenyum tipis sebagai tanggapan. Dua hal tersebut memang menjadi bebanku saat ini. Terlebih lagi, aku belum memperoleh kejelasan dari Hyun sendiri. “So, do you already get rid of your anger?” Membelokkan topik pembicaraan, aku lebih ingin tahu mengenai sikap dinginnya padaku.

Ah, I’m sorry about that. I’m the one who should understand.” Kris mengusap tengkuknya dengan kikuk.

What?” Aku tidak menangkap maksud ucapannya.

Nothing!” Kris kembali tersenyum lebar padaku. Senyum yang aku rindukan beberapa hari belakangan ini. Aku memelorotkan bahu pada reaksinya, kemudian ikut tersenyum kecil. Memang benar aku belum mengetahui alasan sikap Kris, namun saat ini berbaikan dengannya jauh lebih utama.

I’m going to back home, now. See you tomorrow, Kris.” Aku mengangkat tasku dan beranjak. Karena tidak memiliki jadwal kerja, aku bisa langsung pulang.

Bye.”

***

Mencondongkan tubuhku ke muka, aku berdecak ketika hujan yang mengguyur bertambah deras. Kuinjak pedal gas ketika melihat lampu lalu lintas telah berganti hijau. Jalan menuju rumahku seharusnya lurus, namun aku menyalakan lampu seinku untuk berbelok ke kanan. Kupelankan kecepatan mobilku ketika hampir memasuki kawasan Orchard. Hyun tinggal di salah satu dari tiga kawasan condominium terelit Singapore.

Aku melakukan pengereman mendadak begitu siluet yang kukenal berdiri di tengah guyuran hujan. “What the…” Kulajukan mobilku hingga masuk beberapa meter ke dalam basement. Mencari-cari payung di dashboard, aku buru-buru keluar dari mobil dan berlari ke arah pria nekat itu.

“Hyun! What the hell are you doing here?!” Kukeraskan suaraku agar terdengar diantara riuh hujan.

Hyun hanya memandangku dengan wajah pucatnya. Dia mengangkat tangannya kemudian meraba pipiku. “Adelynn?” suara ragunya hampir tak terdengar karena terkalahkan suara hujan.

“Hyun!” Aku memekik kaget saat tubuhnya limbung ke arahku. Kusangga punggungnya dengan sebelah tangan. My goodness, meski hanya menyangga, bobotnya terlalu berat untukku. “Hey! Could you help me?” Aku melambai-lambai kepada security yang sedang berjaga. Tanpa mengulang permintaanku, seorang security mendekat.

Let me Miss.” Dia menyampirkan lengan Hyun di pundaknya, sedangkan aku memegang sebelahnya. Walaupun Hyun dalam keadaan sadar, aku merasakan tubuhnya yang lunglai.  Memapah Hyun ke apartemennya, kami mendudukkannya di sofa.

Could you help me to park my car?” Aku memberikan kunci mobilku karena ingat belum memarkir dengan benar.

Sure, Miss.”

Thank you.” Aku berlari ke dalam kamar Hyun untuk mencari handuk kering. Sedikit panic, aku tidak hafal dengan tata letak apartement Hyun. Baru kali ini aku memasuki kamarnya. Setelah mendapatkannya, aku kembali berlari kecil mencapai Hyun.

Kuselimutkan handuk melalui pundaknya, kemudian menyatukannya di depan dada. “Change your clothes, Hyun.” Aku menekan-nekan handuk untuk menyerap air dalam baju Hyun yang basah. Kuraih tangannya yang sangat dingin dan mengusapnya dengan handuk.

“I—“

We can talk later, hum?” Aku memotong ucapannya. Hyun tersenyum kecil dengan bibirnya yang membiru. Kubantu dia berdiri, lalu berniat memapahnya untuk mencapai kamar mandi, namun Hyun menahanku.

I can walk properly.” Ucapnya sebagai kesanggupan, tapi bagiku terdengar seperti gurauan.

Are you sure?”

If I’m not sure, will you help me to change my clothes?” seringainya.

Ya!” Aku menepuk lengannya pelan dan kami hanya terkekeh pelan.

Aku sedikit was-was ketika melihat Hyun berjalan dengan limbung. Menahan diri di tempatku, aku memerhatikannya dari kejauhan. Sembari menungguinya berganti, aku memeriksa dapur dan tercengang dengan beberapa perabot yang berantakan. Melihat ke arah tempat sampah, aku menemukan banyak bungkus makanan instan. Hyun benar-benar tidak memperhatikan ucapanku untuk menjaga menu makannya. Menuju ruang tengah, aku mengangkat telephon untuk memesan makanan.

Kutarik baju bagian depan yang lengket karena basah. Berjalan ke bagian laundry, aku menemukan tumpukan kaus Hyun yang sudah mengering. Agaknya Hyun telah lama membiarkannya menumpuk di sini. Melorot salah satunya, aku kemudian berganti kaus milik Hyun. Membereskan perkakas yang berantakan, mencucinya, membersihkan dapur, dan terakhir membuatkan Hyun teh hangat.

Aku memindah sup yang baru saja diantarkan ke dalam mangkuk. Meletakkan makan malam di atas nampan, aku membawanya ke kemar Hyun. “Hyun, have you finished?” Aku tidak bisa mengetuk kamarnya karna kedua tanganku mengangkat nampan. Setelah beberapa saat tidak mendapat jawaban, aku memutuskan masuk dengan mendorong pintu menggunakan punggung.

My goodness!” Begitu masuk, aku menemukan Hyun ambruk di dekat ranjang. Kuletakkan makan malam di meja samping ranjangnya, kemudian menghampiri Hyun. Kutepuk-tepuk ringan pipinya. “Hyun, can you hear me?” Dia hanya merintih sebagai jawaban. Memeriksa keningnya, aku merasakan suhu tubuhnya menyengat kulit telapak tanganku. “Hyun?” Sekuat tenaga aku membantunya duduk tegak dan menyandarkan tubuhnya di badan ranjang untuk sementara. “Please, stay awake.” Aku menangkup pipinya dan dia hanya membuka kelopaknya beberapa mili.

Aku menyusupkan kedua tanganku melewati pinggangnya, kemudian berusaha menaikkannya ke ranjang. Untungnya Hyun masih bisa sedikit berusaha untuk berdiri. Kutarik selimut untuk menghangatkannya. Tidak sia-sia aku menyiapkan paracetamol bersama dengan makan malamnya. Kuselipkan tanganku di belakang kepala Hyun agar dia bisa bangun untuk meminum obatnya.

Mencari plester penurun panas di kotak obat, aku kembali meraih telephon untuk menghubungi Aiden Oppa. Aku tidak membawa ponsel karena semua tertinggal di mobil.

Hello, Oppa?”

“Lynn? Whose number you use? Where’s your selfphone?”

It’s Hyun’s.”

So, you’re be with him?” Nada Aiden Oppa terdengar sedang menggodaku.

Oppa, please.” Mohonku agar Oppa menghentikan candaannya. “I can’t back home early cause Hyun suffer from cold and he has none to take care of him.”

Oh, ok. Wish he get better soon.”

Hmm, bye Oppa.” Aku menutup telephon dan meletakkannya kembali.

Menyingkap poni Hyun ke atas, aku kemudian menempelkan plester penurun panas di dahinya. Aku ingin menggapai nampan agar Hyun tetap memakan makan malamnya, tapi tubuhku disentakkan dengan kuat ke arah berlawanan. Kutarik nafasku dan menahannya beberapa saat ketika aku jatuh tepat di tubuh Hyun hingga hidung kami hampir bersentuhan. Wajah pucat Hyun berada tepat di mataku. “I…I…” aku menjadi begitu gugup ketika degub jantungku mulai tak terkendali.

I’m sorry.” Hyun berkata dengan suara serak yang nyaris tidak terdengar. “Aku tidak jujur dengan rencana kencan malam tahun baru kita.”

Pipiku memanas saat kenangan malam tahun baru muncul kembali. Kupalingkan wajahku untuk menghindari tatapannya. Aku mencoba bangkit dengan menumpukan telapak tanganku di dada bidangnya, tapi tangan Hyun cukup kuat menahanku. “Hyun, kita bisa bicarakan hal ini setelah keadaanmu membaik.” Bagaimana pun rasa kecewaku padanya, aku tetap tidak tega melihatnya kesakitan.

“Apakah aku bisa mendapat kepercayaanmu kembali?”

Aku bisa merasakan debaran Hyun merambat melalui telapak tanganku di dadanya. “I…I will try.” Walau tidak yakin, aku akan mencobanya kembali.

Hyun menggeser tubuhnya ke tengah ranjang, kemudian menarikku dan mendorongku ikut merebah. Secara spontan, aku menumpu tanganku untuk membantu bangkit, tapi lagi-lagi Hyun mendahuluiku. “Ya! Kyuhyun Cho!” Dia menahanku dalam pelukannya dengan kedua lengannya yang melingkar di leherku. Rasanya wajahku sudah memanas dengan keintiman kami. Tubuhku dalam posisi miring membelakanginya sehingga dia tidak bisa melihat wajahku yang pastinya memerah. “What’re you doing?”

“Mencoba mendapat kepercayaanmu lagi.” Aku bisa merasakan dada Hyun yang hangat di punggungku. Hal yang membuat detak jantungku menghebat.

Are you kidding me?”

No.”

Then let me go.”

This’s my birthday.”

What?” Aku menggerakkan kepalaku untuk menoleh, tapi terhalangi oleh lengan Hyun. “I’m sorry, I don’t even know.”

Could you please stay with me this night?”

“Hyun?”

Please. Aku tidak akan berbuat macam-macam.”

“Bagaimana aku bisa memegang kata-katamu?”

“Karena aku sedang sakit, kau bisa memukul atau menendangku dengan mudah.”

With my pleasure, Hyun!”

What? Stay with me?”

No. Hitting and kicking you badly.”

Ya!” Kurasakan Hyun menyurungkan dahinya padaku. “So, will you…stay?”

Tidak tahu dorongan darimana hingga aku menganggukkan kepalaku. “You celebrated your birthday by soaking yourself in the rain, didn’t you?” candaku. Sesungguhnya aku ingin menanyakan mengapa dia membiarkan dirinya terguyur hujan deras.

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Hyun sekarang. Dia hanya mengeratkan pelukannya dan memendam wajahnya di leherku. Hembusan nafasnya yang hangat di leher belakangku menggelitik indera sentuhku. Aku ingin dia menjawab candaanku, namun dia hanya diam.

Kutepuk-tepuk pelan lengan bawahnya yang berada di depan leherku untuk memberikan rasa nyaman. Sepertinya aku memang tidak bisa menanyakan permasalahan kami, juga alasan dia menyakiti dirinya sendiri. Hyun cenderung mengekspresikan segala bentuk emosinya dengan membahayakan dirinya; seperti waktu dia membalap hingga terjatuh dan hari ini berhujan-hujan. Apakah dia tidak memedulikan keselamatan dan kesehatannya?

Kemarahan dan kekesalanku pada Hyun menguap ketika khawatir menggantikan kedua rasa tersebut. Bagaimana aku bisa meluapkan emosi dan kekecewaanku jika mendapati keadaannya buruk? Tidak hanya raga, tapi juga jiwa dan pemikirannya. “Kau pernah berjanji untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku, maka aku menunggumu menjelaskan masalah yang pernah aku tanyakan padamu.” Aku merujuk pada pertengkaran terakhir kami. “Just speak up and I will listen. Don’t hurt yourself. Ok?”

“Andai aku memiliki banyak waktu, maka kukabulkan permintaanmu tersebut.” Aku merasakan tekanan di kepala belakangku, agaknya Hyun menciumku. “My apology, Adelynn. That’s all what I can say.”

Rasaku mendadak sendu saat Hyun menyelesaikan kalimatnya. “Hyun, mengapa kau tidak mencoba melakukan operasi?”

“Karena aku tidak ingin berspekulasi dengan presentasinya. Tiga puluh persen berhasil, empat puluh persen lumpuh dan mengalami disfungsi, sisanya mati di meja operasi.”

“Hyun…” Aku merinding ketika dengan gamblang Hyun menjelaskannya. “But, you still have a chance.

All I want now isn’t a chance but times.”

Aku merenggangkkan pelukan Hyun dan memutar tubuhku agar menghadapnya. Dia memandangku dengan mata sayunya. Aku bisa mengagumi hidung mancung dan bibir penuhnya dari jarak yang teramat dekat ini. Menahan air mataku, kutangkupkan sebelah tanganku di pipi Hyun. “Wish God hears your appeal. Happy belated birthday, Kyuhyun Cho.” Memberanikan diri, aku memberikan kecupan di bibirnya.

Persinggungan dengan permukaan bibirnya selalu membuat reaksi berlebihan di system tubuhku, meski yang kurasakan saat ini bukan bibirnya yang lemut, melainkan bibirnya yang kering. Aku hanya menempelkan bibirku untuk beberapa saat sebelum menarik mundur kepalaku.

Aiden Oppa benar akan suatu hal, bahwa aku seharusnya memberikan kesempatan padanya untuk bicara. Namun dia salah dalam hal lain, bahwa kesempatan itu bagi Hyun tidak akan terwujud tanpa waktu. Satu hal yang kudapat mengenainya; Hyun bukan tidak ingin menyelesaikan masalah diantara kami, dia hanya tidak mempunyai waktu untuk menuntaskannya.

Gomawoyo, Adelynn Lee.” Hyun menyunggingkan senyum. Dia menarik tanganku untuk melingkar di pinggangnya, kemudian merebahkan kepalaku di lengan atasnya. Kulit lehernya yang bersentuhan dengan keningku merambatkan suhu badannya yang masih demam. “Gomawoyo for coming in my life.”

Aku mengusap punggung Hyun sebagai balasan pelukannya. Memejamkan mata, aku merasakan cairan hangat merembes dari sudut mataku. Kau akan bertahan, Hyun. Aku yakin itu!

TBC*

Note:

Bonus Pic:

tumblr_mimsywx67z1rsgaxho1_500

Adorable Hyun even in pale face.

Maaf aku belum sempat meneliti ulang paragraf-paragrafnya. Sepertinya masih ada beberapa yang harus diperbaiki.

Terima kasih sudah mengikuti fanfic ini. Bagi yang bertanya mengapa aku tidak menggunakan POV yang berselang-seling dalam satu part sekaligus, jawabannya karena aku ingin merapikan paragraf dan susunan keseluruhan naskah fiksi. Aku sedikit tidak nyaman ketika mengetik dengan sudut pandang berbeda. Selain itu, aku memang sengaja menjadikan kalian sebagai satu tokoh dalam setiap part.

Bye and bow, I’m waiting yor review (^^ /

235 thoughts on “A Lovely Coincidence [Shot 6]

  1. sparkyukyu says:

    awal part ini bikin bingung. Ada scandal apa antara hyun dengan seohyun?. Tapi untuk selanjutnya feel nya dapat banget….

  2. Shatia says:

    Betapa baiknya Lynn, dengan mudahnya Lynn selalu memaafkan kesalahan Kyu, apalagi ketika Kyu sakit bikin Lynn khawatir. Bikin bertanya-tanya dan penasaran tentang perasaan Kyu yang sebenarnya terhadap Lynn.. Dan berhara Kyu mau berobat dengan benar agar penyakitnya sembuh..

Would you please to give your riview?